PENDAHULUAN
Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu menang dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.
Adanya interaksi dengan warga masyarakat luar Baduy menyebabkan orang Baduy banyak yang terpengaruh untuk memiliki barang perlengkapan hidup yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka, lebih jauh lagi mereka melakukan pelanggaran baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, keadaan yang demikian tentu saja tidak lepas dari pengawasan pemuka adat seperti penghancuran barang perlengkapan hidup yang dianggap buyut (dilarang), bagi orang Baduy hal itu dirasakan tidak adanya keseimbangan antara kewajiban terhadap pikukuh yang harus dilakukan dengan hal dari pikukuh yang diterima, hal ini menyebabkan mereka mencari keseimbangan dengan masyarakat diluar Baduy.
Adanya interaksi dengan masyarakat diluar Baduy akan mempengaruhi mereka untuk melakukan perubahan, sehingga muncul tokoh perubahan yang akan membawa beberapa warga masyarakat yang menerima perubahan untuk meninggalkan desa Kanekes dan pikukuhnya, hal ini pernah terjadi dengan mendapat dukungan dari Kanwil Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat, melalui PPKSMT ( Proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing ).
Orang Baduy yang pindah ke PPKSMT harus menghadapi adaptasi social baik dengan orang Baduy sendiri maupun dengan masyarakat di sekitarnya, tetapi sebelum hal itu dilakukan diantara mereka ada yang telah mempersiapkan strategi hidup, dengan tujuan untuk mempersiapkan diri dari segala kemungkinan yang dapat merugikan dirinya. Tidak sedikit diantara mereka tidak dapat melakukan adaptasi sehingga pemuka adat berusaha membawa kembali warga masyarakatnya untuk kembali ke desa Kanekes. Sedangkan mereka yang dapat bertahan dan yang telah yakin dengan perubahan yang dilakukan terus menjadi masyarakat biasa.
Dengan demikian, pikukuh sebagai norma budaya yang berfungsi sebagai standar perilaku yang diharapkan dan sekaligus merupakan aturan yang harus dilakukan oleh warga masyarakat sebagai pemilik kebudayaan tersebut kenyataannya buyut tersebut tidak seutuhnya dilaksanakan karena buyut bagi warga masyarakat Tangtu lebih ketat dibanding dengan buyut warga masyarakat Panamping.