Monday, March 21, 2011

Analisis Pidana Kasus Situ Gintung


  1. Abstrak
            Tragedi yang terjadi atas jebolnya tanggul Situ Gintung mengundang sangat banyak perhatian para pihak, terutamanya perhatian kepada para korban bencana tersebut, tragedi yang terjadi pada dini hari tersebut menelan sedikitnya 99 korban jiwa dan 120 orang lainnya hilang dan belum ditemukan (kompas 31/3/09), dan air bah tersebut juga meluluhlantahkan dan meratakan seluruh area yang terdapat di sekitar danau Situ Gintung sehingga merusak tatanan ekologis yang terdapat di sekitar situ tersebut.
            Perhatian khalayak pada saat kejadian pasca bencana tersebut lalu beralih kepada penanganan para korban, terutama kepada pencarian korban yang hilang dan belum ditemukan, ada korban yang tertimbun tanah, ada yang tersangkut di pepohonan, ada yang tertimpa reruntuhan bangunan dan banyak korban yang hanyut terseret air bah hingga masuk kedalam aliran sungai, bahkan tahap yang paling menyulitkan ialah pada tahap pencarian korban yang hilang terseret aliran sungai, karena pada tahapan ini para relawan terhadang kendala cuaca yang tidak bersahabat dan medan yang berat karena dalam aliran sungai tersebut tercampur pula materi-materi bongkahan bangunan sisa-sisa reruntuhan rumah para korban. Sungai yang ditelusuri oleh para relawan dan Tim SAR ialah Sungai Pesanggrahan yang terdapat di area Kelurahan Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Berdasarkan data yang masuk masih banyak orang yang dinyatakan hilang hingga saat ini entah karena terseret arus atau hilang karena bukan karena bencana.

            Kejadian yang terjadi pada Situ Gintung selain mengalihkan perhatian para pihak dari hiruk-pikuk kampanye pemilu juga membuat para pihak bertanya-tanya sebenarnya apa yang menjadi penyebab daripada terjadinya bencana yang mengerikan ini, seperti yang telah disinggung sebelumnya banyak pihak yang mulai bersuara tentang penyebab terjadinya bencana ini, ada yang menyebutkan bahwa penyebab utama dari bencana Situ Gintung ini adalah berasal dari faktor alam, ada yang menyebutkan pula bahwa penyebabnya adalah faktor kondisi situ yang sudah tua, hingga banyak pihak yang telah menduga bahwa ada faktor kelalaian manusia yang telah menyebabkan terjadinya bencana di situ gintung ini.
            Tidak terlepas dari perdebatan mengenai apa yang menjadi penyebab tragedi bencana Situ Gintung, lebih baik kita sekarang mencoba menyimak beberapa alasan daripada argumen yang dilontarkan oleh berbagai pihak tersebut, pertama, ada pihak yang melontarkan bahwa tragedi tersebut merupakan faktor alam, karena tepat saat tragedi tersebut akan terjadi, kondisi cuaca di daerah sekitar situ tersebut diguyur hujan yang jumlah intensitasnya diatas normal yaitu curah hujan eksepsional lebih dari 160 mm selama 2 jam, dan akibat dari intensitas hujan yang diatas normal tersebut maka tanggul penahan air pun tak sanggup untuk membendung seluruh volume air yang besar tersebut, sehingga tanggul pun jebol dan menimpa puluhan rumah warga. Lalu keadaan itu didukung pula oleh usia tanggul yang sudah berumur sangat tua sehingga rentan untuk jebol, lalu kondisi tersebut diperparah dengan pendangkalan volume situ untuk menampung air, dari semula 31 ha, menjadi hanya 21 ha.
            Apabila kita melihat fakta-fakta alamiah di atas apakah kita akan pasrah kepada kejadian alam tersebut? Apakah kita akan menunggu terjadinya bencana tersebut? Apakah tidak ada usaha dari manusia untuk mencoba menangani dan mencegah kemungkinan terjadinya bencana? Itulah dia Permasalahannya, pada dasarnya manusia diperuntukan untuk mengelola alam dan tidak tunduk pada alam dan dibalik semua tragedi jebolnya tanggul situ gintung ini pasti terdapat “manusia-manusia” yang memang sudah seharusnya mengurusi dan merawat tanggul dan situ tersebut agar tetap berfungsi sesuai dengan semestinya.

  1. Analisis
Jika kita mengamati dan menelaah lebih lanjut, seharusnya tragedi Situ Gintung ini tidak perlu terjadi apabila adanya pengawasan yang ketat dan perawatan yang intensif terhadap Situ Gintung ini, oleh karena itu banyak pihak yang menerawang, apakah Situ Gintung ini tidak ada yang mengurus dan merawatnya? Apakah Situ Gintung ini tidak ada yang memperhatikan? Jawabannya tentu saja tidak, pasti ada yang bertugas dan bertanggung jawab atas perawatan dan pengawasannya. Hanya sekarang kita tinggal menyelidiki siapa yang sebenarnya paling bisa dituntut pertanggungjawabannya atas terjadiya musibah bencana ini.

Pada dasarnya tragedi bencana Situ Gintung ini tidak terlepas dari adanya kesalahan yang diperbuat oleh manusia, kesalahan manusia ini pada dasarnya merupakan suatu sikap batin yang dimiliki oleh manusia, dan unsur kesalahan inilah yang merupakan prasyarat terjadinya tindak pidana. Jika kita melihat pada konteks bencana Situ Gintung, maka konteks kesalahannya lebih mengacu pada konteks kelalaian, atau Schuld/culpa, karena walaupun tidak tertutup kemungkinan faktor kesengajaan atau opzet /dolus bisa terjadi, tetapi terlalu kecil kemungkinan yang mengarah kepada arah dolus. Kelalaian/culpa yang terjadi lebih mengarah pada Culpa yang disadari atau Bewuste Schuld karena pada dasarnya para manusia-manusia yang lalai tersebut pada dasarnya telah mengetahui akan akibat yang kemungkinan dapat terjadi apabila ia lalai dalam mengawasi dan menjalankan tugasnya tersebut, karena seperti yang tengah marak diberitakan di media, termasuk mengutip dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang menyatakan bahwa pada dasarnya para warga sekitar pernah melaporkan terjadinya keretakan tanggul kepada pemerintah, bahkan pada November 2008 bencana yang sama pun pernah terjadi walaupun hanya dalam skala yang lebih kecil, tetapi oleh pemerintah tidak pernah di tanggapi. Berdasarkan pernyataan di atas telah terbukti bahwa pemerintah tidak pernah mengawasi keadaan di Situ Gintung terutama bagian tanggulnya, bahkan laporan masyarakat pun tidak pernah di tanggapi, jelas saja ini merupakan tindakan kelalaian yang disadari oleh pemerintah (Bewuste Schuld).
Pendapat mengenai penyebab kasus tragedi bencana Situ Gintung adalah merupakan kelalaian yang disengaja ialah bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya seharusnya pemerintah sudah menduga, apabila keadaan tanggul yang sudah tua, apalagi sudah retak dan sudah bocor tidak segera diantisipasi maka akan sangat besar kemungkinannya tanggul akan jebol dan menimpa para warga di sekitar tanggul, tetapi tetap saja kenyataannya laporan wargapun tidak ditanggapi, dan berdasarkan kenyataan di atas sudah jelas bahwa dalam tragedi ini terdapat tindak pidana, yaitu kelalaian.
Secara normatif, pengelolaan Situ Gintung sebagai salah satu sumber air sudah sangat jelas diatur dalam UU Sumber Daya Air No 7 Tahun 2004 (UU SDA) dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pasal 13 sampai Pasal 17 UU No 7/2004 misalnya yang menjelaskan mengenai tanggung jawab pemerintah -dari tingkat pusat sampai desa- dalam menetapkan dan menjalankan rencana pengelolaan sumber daya air.
UU SDA bahkan memuat sanksi pidana berupa ancaman penjara paling lama 18 bulan dan denda paling banyak Rp300 juta bagi setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Hal ini diatur dalam Pasal 95 Ayat (1) huruf (a) UU SDA.
Pada huruf (b) dalam pasal dan ayat yang sama, ancaman pidana itu juga ditujukan pada setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air. Daya rusak air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan.
Pada dasarnya kita harus menuntut pertanggungjawaban pemerintah secara pidana, tetapi harus dicari tahu siapa pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan rutin terhadap danau itu agar nantinya pihak itu bisa dimintai pertanggungjawabnya secara pidana apabila ia mengabaikan kewajibannya itu.
Kalaupun jerat pidana dalam UU SDA tak ampuh dalam menjerat pihak yang bertanggung jawab, toh masih ada Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP sebagai ‘senjata pamungkas’. Yang berbunyi;

  • Pasal 359
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjar paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

  • Pasal 360
(1)    Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.



(2)    Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

            Unsur barang siapa dalam Pasal 359 dan 360 KUHP,  hanya merujuk pada orang. Bukan lembaga atau badan hukum korporasi. Artinya, siapa pun dia, baik petugas lapangan atau atasannya bisa diancam dengan ketentuan ini.
            Selain terdapat indikasi tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian, terdapat pula indikasi terjadinya tindak pidana korupsi, karena berdasarkan data World Bank, ada pinjaman sebesar US$ 115,6 juta bagi Pemerintah Indonesia untuk alokasi program irigasi dan sumber daya air. Seharusnya pemeliharaan bendungan dan  sarana irigasi lainnya harus terjamin mengingat anggarannya telah tersedia, tetapi fakta di lapangan keadaan Situ Gintung sangat memprihatinkan dan tidak terurus terbukti dengan tidak di tindaklanjutinya keluhan masyarakat mengenai keretakan dan kerusakan yang terjadi di Situ Gintung, hal ini memberikan gambaran kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi.
            Pada hakikatnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui audit investigasi dapat menyisir persoalan fundamental penyebab jebolnya reservoir Situ Gintung dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai pintu masuknya. Tanggung jawab atas rehabilitasi dan biaya operasional pemeliharaan (OP) reservoir Situ Gintung dapat dikembangkan sebagai penelusurannya.
            Informasi tersebut selanjutnya dapat dikembangkan untuk mengaudit penggunaan dana rehabilitasi, operasional, dan pemeliharaan Situ Gintung tahun anggaran 2008 dan anggaran tahun sebelumnya. Akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana rehabilitasi dan OP sangat penting agar sinyalemen terjadinya kebocoran penggunaan dana OP dan rehabilitasi dapat diketahui kondisi sebenarnya.
Lebih jauh investigasi dapat diperdalam dengan mencermati lebih rinci adakah perbuatan melawan hukum dan memperkaya diri sendiri atas bobolnya Situ Gintung? Bahkan, apabila ditemukan tindak pidana korupsinya, Komisi Pemberantasan Korupsi perlu menyidik karena selain menimbulkan kerugian negara, juga menyebabkan kejahatan humanitarian yang sangat memilukan. Pendekatan ini sebagai respons dan konsekuensi atas pembagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan undang-undang.
Investigasi selanjutnya diperluas dengan menyisir pelanggaran tata ruang yang secara kasatmata terlihat jelas. Pemberi izin yang melanggar tata ruang juga harus diberi sanksi setimpal karena di banyak tempat pemberi izin secara kasatmata melakukan pelanggaran terbuka tanpa peduli dampak negatif yang ditimbulkan. Mafia perizinan ini harus dibersihkan karena sebagian besar malapetaka banjir, kekeringan, dan tanah longsor titik awalnya bersumber dari pelanggaran tata ruang. Pendekatan ini akan menimbulkan jera para mafia tata ruang yang selama ini tidak saja merusak lingkungan, tetapi juga menelan korban manusia demi kepentingan sesaat dan sesat mereka.
5 Alexander Rizki's Blog: Analisis Pidana Kasus Situ Gintung Abstrak             Tragedi yang terjadi atas jebolnya tanggul Situ Gintung mengundang sangat banyak perhatian para pihak, terutamanya p...

No comments:

Post a Comment

< >