Monday, March 21, 2011

Hak Kekayaan Intelektual ; Merek Sistem Konstitutif dan Masalah Perlindungan Merek Pada UKM


PEMBAHASAN

·        Abstrak

Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan hampir tidak ada lagi, karena setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap negara tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tarif maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Termasuk diantaranya pemberian perhatian khusus terhadap perlindungan pada hak kekayaan Intelektual (HaKI) yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian (Agreement Establishing The Word Trade Organization) yaitu salah satu persetujuan di bawah WTO berupa perjanjian atau persetujuan mengenai aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual, termasuk perdagangan palsu (Agreement on the Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIP’s, Including Trade in Counferfeit Goods). Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan mengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1997.[1]
            Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai pemenang dan dapat eksis di pasar.
            Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995 Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
  1. Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
  2. Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
            Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah:[2]
  1. Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada Koperasi;
  2. Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi Koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
  3. Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
  4. Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang- Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut “Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang- Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar pertama.
Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992, yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun 2001.
Perkembangan perdagangan dunia internasional yang semakin cepat, menuntut kesepakatan dan komitmen terhadap pengurangan segala hambatan-hambatan perdagangan dunia internasional di berbagai aspek tetapi menjunjung tinggi azas legalitas yang telah disepakati bersama.

·        Sistem Konstitutif

Aturan  hukum  sebelumnya  yakni  Undang-Undang Nomor  21 tahun  1961  menggunakan  sistem  deklaratif.  Menurut  Iman Sjahputra  (1997 : 28) Sistem deklaratif adalah suatu sistem dimana hak atas suatu merek timbul karena pemakaian pertama oleh pihak pemilik merek, walaupun tidak didaftarkan oleh pemilik merek.[3]
Sistem ini mempunyai kelemahan karena tidak diketahui kapan suatu merek dipakai seseorang. Sehingga bila terjadi sengketa antara 2 (dua) pihak dimana satu pihak mengklaim bahwa beliau adalah pemakai pertama dari merek tersebut, sementara pihak lain juga mengklaim hal yang sama, maka untuk membuktikan siapa yang merupakan pemakai pertama dari merek tersebut merupakan hal yang tidak mudah.
Karena dipandang tidak sesuai lagi, maka sistem deklaratif tersebut diubah menjadi sistem konstitutif, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Sistem Konstitutif menurut Iman Sjahputra ( 1997 : 28 ) adalah suatu sistem dimana hak atas suatu merek tercipta karena adanya pendaftaran dari yang bersangkutan.[4]
Sistem Konstitutif  dianggap dapat menjamin kepastian  hukum  yang disertai pula  dengan ketentuan-ketentuan  yang menjamin segi keadilan. Jaminan terhadap aspek keadilan tampak antara lain, pembentukan  cabang-cabang Kantor Merek di daerah, pembentukan Komisi Banding Merek, dan selain memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan yang tidak terbatas pada Pengadilan  Jakarta Pusat, tetapi juga  melalui Pengadilan Negeri lainnya yang telah ditetapkan, serta tetap dimungkinkannya  gugatan melalui PTUN, bahkan dalam masa pengumuman  permintaan pendaftaran merek dimungkinkan pemilik merek tidak terdaftar yang telah menggunakannya sebagai pemakai pertama  untuk mengajukan keberatan.
Dengan berlangsungnya globalisasi pasar  yang semakin cepat serta dukungan transportasi serta komunikasi  yang canggih maka tatanan dan praktek niaga  membutuhkan perhatian yang besar. Sebab dengan perluasan pasar seperti itu, dunia industri dan niaga memerlukan penyesuaian  dalam sistem perlindungan hukum  terhadap Merek yang digunakan  pada produk yang diperdagangkan. Sehingga untuk mengikuti perkembangan tersebut maka aturan-aturan merek di Indonesia harus  kembali mengalami perubahan .
Aturan hukum  tentang merek dengan Undang-undang Nomor  19 Tahun 1992  serta Undang-undang  Nomor 14 Tahun 1997  (konsolidasi)  tentang Merek  dianggap telah tidak sesuai lagi dan untuk itu kemudian diubah  dalam Undang-undang  Nomor 15 Tahun 2001 yang selanjutnya disebut Undang-undang Merek baru. Perubahan-perubahan tersebut memperlihatkan bahwa betapa pemerintah Indonesia sangat ingin memberikan perlindungan hukum serta mengantisipasi segala bentuk pemakaian merek secara melawan hukum  yang terjadi karena perkembangan  dunia industri dan niaga  yang berlangsung sangat cepat.
Dengan berlakunya Undang-undang Merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 maka diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum atas merek terkenal sehingga tercipta suasana yang kondusif bagi iklim  perindustrian dan perdagangan di Indonesia.

·        Masalah Perlindungan Merek Pada UKM

Permasalahan yang selalu terjadi adalah para pelaku UKM kurang peduli dan kurang tanggap terhadap masalah perlindungan Merek, mereka mengacuhkan permasalahan HaKI karena berbagai sebab dan alasan, diantaranya mereka menganggap pendaftaran merek tidak terlalu penting, mereka juga selalu beranggapan bahwa perlindungan merek tidak berdampak yang signifikan terhadap perkembangan bisnis mereka. Dan yang utama adalah pendaftaran merek membutuhkan biaya yang besar dan proses pendaftarannya sangat berbelit-belit. Itu adalah beberapa contoh, anggapan dan pola pikir yang ditemui pada para pelaku bisnis UKM di masyarakat.
Sampai di jumpai suatu survey yang terjadi di masyarakat mengenai pola-pola hubungan UKM dengan Pendaftaran Merek;
Dalam suatu survey, terdapat fakta-fakta yang didapatkan dengan mengambil lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Lampung. Terpilihnya empat propinsi tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa informasi dan data diperoleh dapat mewakili Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang tersebar sampai pelosok Indonesia. Demikian pula jenis usaha yang akan dilihat beragam usaha industri rumah tangga, merupakan mata pencaharian tetap bagi pebisnis kecil, dengan administrasi sangat sederhana, tenaga kerja setempat (lokal), jam kerja pun belum tentu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Disamping itu pertimbangan lain adalah dana dan tenaga yang tersedia.[5]
Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain, Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok), tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik. Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan. Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi, keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya.[6]
Dengan memadukan beberapa propinsi yang mempunyai penghasilan beragam, tentunya akan muncul pendapat responden tentang minat memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual.
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00% responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI. Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait (pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI 70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00%.
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%, dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan bentuk merek 47,50%.[7]
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%. Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki saingan 77,50%. Pengusaha sebagai responden, usaha yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni berpuluh-puluh tahun.
Sebagian responden HaKI mendapat hambatan dalam mencari informasinya namun responden tetap menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait.
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya (100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50%. Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%, Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel 50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%. Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 30,00%.[8]
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha yang telah maju.
Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi, bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).

PENUTUP

·        Kesimpulan

Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan administrasi.
  2. Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada usaha yang turun-temurun.
  3. Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI (52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
  4. Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan, menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi terkait.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah) antara lain :
  1. Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
  2. Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah (dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
  3. Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidak mengalami kekeliruan.
  4. Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau kembali.


·        Saran

  1. Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan pentingnya HaKI.
  2. Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh pemohon setelah permohonan diterima, yang disahkan Direktorat Jenderal HaKI Jakarta.



[1] Budiningsih, C Ria, (2006). Bahan Kuliah Hak Kekayaan Intelektual. Unpar. Bandung.

[2] Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.

[3] http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/25/tinjauan-hukum-terhadap-penerapan-undang-undang-nomor-15-tahun-2001-tentang-merek-atas-pemalsuan-merek-terkenal-2/
[4] ibid
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
5 Alexander Rizki's Blog: Hak Kekayaan Intelektual ; Merek Sistem Konstitutif dan Masalah Perlindungan Merek Pada UKM PEMBAHASAN ·         Abstrak Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan internasional batas negara boleh dikatakan ham...

2 comments:

  1. hal terpenting dalam memilih maupun akan menjalankan Business Opportunity,Franchise,atau Waralaba
    bukan semata-mata terletak pada seberapa bagus produk yang akan di jual,serta seberapa besar kebutuhan pasar akan produk tersebut.
    pernahkah terbayangkan tiba-tiba anda harus mengganti merek disaat business sedang berkembang pesat karena adanya tuntutan dari pihak lain atas Merek yang digunakan ?
    belum lagi anda diharuskan membayar ratusan juta Rupiah karena hal tersebut diatas?

    inilah pentingnya fungsi daftar merek,desain industri,hak cipta,paten.

    Konsultasikan merekdagang anda segera pada www.ipindo.com konsultan HKI terdaftar.

    ReplyDelete
  2. artikel yang bagus nih. makasih bro

    ReplyDelete

< >