Monday, March 21, 2011

Dinamika Kebudayaan Masyarakat Suku Baduy

PENDAHULUAN


Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara, maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu menang dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.
Adanya interaksi dengan warga masyarakat luar Baduy menyebabkan orang Baduy banyak yang terpengaruh untuk memiliki barang perlengkapan hidup yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka, lebih jauh lagi mereka melakukan pelanggaran baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, keadaan yang demikian tentu saja tidak lepas dari pengawasan pemuka adat seperti penghancuran barang perlengkapan hidup yang dianggap buyut (dilarang), bagi orang Baduy hal itu dirasakan tidak adanya keseimbangan antara kewajiban terhadap pikukuh yang harus dilakukan dengan hal dari pikukuh yang diterima, hal ini menyebabkan mereka mencari keseimbangan dengan masyarakat diluar Baduy.
Adanya interaksi dengan masyarakat diluar Baduy akan mempengaruhi mereka untuk melakukan perubahan, sehingga muncul tokoh perubahan yang akan membawa beberapa warga masyarakat yang menerima perubahan untuk meninggalkan desa Kanekes dan pikukuhnya, hal ini pernah terjadi dengan mendapat dukungan dari Kanwil Departemen Sosial Propinsi Jawa Barat, melalui PPKSMT ( Proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing ).
Orang Baduy yang pindah ke PPKSMT harus menghadapi adaptasi social baik dengan orang Baduy sendiri maupun dengan masyarakat di sekitarnya, tetapi sebelum hal itu dilakukan diantara mereka ada yang telah mempersiapkan strategi hidup, dengan tujuan untuk mempersiapkan diri dari segala kemungkinan yang dapat merugikan dirinya. Tidak sedikit diantara mereka tidak dapat melakukan adaptasi sehingga pemuka adat berusaha membawa kembali warga masyarakatnya untuk kembali ke desa Kanekes. Sedangkan mereka yang dapat bertahan dan yang telah yakin dengan perubahan yang dilakukan terus menjadi masyarakat biasa.
Dengan demikian, pikukuh sebagai norma budaya yang berfungsi sebagai standar perilaku yang diharapkan dan sekaligus merupakan aturan yang harus dilakukan oleh warga masyarakat sebagai pemilik kebudayaan tersebut kenyataannya buyut tersebut tidak seutuhnya dilaksanakan karena buyut bagi warga masyarakat Tangtu lebih ketat dibanding dengan buyut warga masyarakat Panamping.


PEMBAHASAN

Perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat Baduy
Kehidupan warga masyarakat Baduy yang penuh dengan buyut, tetapi dari waktu ke waktu mengalami perubahan hanya saja perubahan tersebut terbagi menjadi perubahan tanpa melanggar pikukuh yaitu perubahan diluar kehendak warga masyarakat dan tidak secara langsung, sedangkan perubahan yang melanggar pikukuh adalah perubahan yang dilakukan warga masyarakat dengan menentang pikukuh, sehingga pemuka adat memerlukan operasi pembersihan untuk menertibkannya. Perubahan melanggar pikukuh inin ada dua macam, pertama yang melanggar tetap berada di desa Kanekes dan kedua sengaja keluar dari desa Kanekes. Pelanggaran dapat pula terjadi karena ketidaktahuan mereka terhadap buyut, karena buyut sebagai pikukuh Baduy tidak dijelaskan secara rinci kepada setiap warga masyarakatnya, sehingga pelanggaran terjadi tanpa disadari.
Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat Baduy sebagai berikut :
Perubahan tanpa melanggar pikukuh
Seringnya orang Tangtu atau Panamping berinteraksi dengan orang lain, mendorong mereka untuk dapat membaca dan menulis. Kebutuhan dapat membaca dan menulis ini dimaksudkan untuk mengetahui barang yang akan dibeli agar tidak terjadi kesalahan. Begitu pula jika mereka berkunjung ke kota dan sulit mencari alamat yang di tuju, maka mereka dapat membaca alamat dan nama jalan, karena jika bertanya di kota jarang orang mengetahui atau menunjukkan tempat yang dimaksud. Kemampuan membaca dan menulis sangat penting bagi mereka, karena jika ada perjanjian tertulis yang akan ditandatangani atau berhubungan dengan perjanjian jual beli tanah maka mereka akan mengetahui dan memahaminya, sehingga tidak begitu mudah diperalat orang lain.
Berikut ini beberapa contoh perubahan yang dialami oleh masyarakat tanpa melanggar pikukuh, yaitu dalam pencarian bahan pakaian. Benang sebagai bahan kain untuk pakaian yang diperlukan orang Baduy dibeli dari daerah lain kemudian di tenun di desa Kanekes. Dahulu mereka menanam kapas untuk dijadikan benang kemudian ditenun dijadikan kain, tetapi penanam kapas ini selalu berbenturan dengan waktu menanam padi, menanam padi bagi orang Baduy lebih penting bagi dibandingkan menanam kapas, akibatnya menanam kapas mereka tinggalkan. Maka untuk memenuhi kebutuhan kapas, mereka membelinya dari masyarakat Gunung Buleud Kecamatan Gunung Kancana. Perkembangan harga kapas yang terus tidak menentu dan tidak menguntungkan lagi maka penanaman kapas dihentikan, sehingga orang Baduy berusaha mencari kapas ke berbagai daerah, namun tidak mendapatkan sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya orang Baduy memilih membeli benang yang berukuran besar dinamakan kanteh ( benang katun no. 12S ), didapat dari Tanah Abang Jakarta Barat. Pembelian kanteh dari daerah ini berlangsung lama, sehingga orang Baduy menjadi pelanggan tetap took di Tanah Abang.
Pembelian kanteh dari Tanah Abang tidak dapat berlangsung terus, karena Jakarta mengalami perubahan, akibatnya toko langganan orang Baduy tidak ada lagi disana. Akhirnya orang Baduy mencari kanteh ke berbagai daerah, kemudian mendapatkan di Majalaya Kabupaten Bandung sampai sekarang.
Pada mulanya pakaian Baduy Tangtu dan Panamping hasil tenunan dari Cipaler tetapi bagi orang Panamping yang pikukuhnya lebih longgar diperbolehkan untuk membeli kain tenunan pabrik, ternyata mereka lebih menyenanginya, karena selain murah tenunan pabrik lebih halus.
Pakaian pria Panamping nampaknya hanya baju hitam, tetapi mereka memiliki pakaian resmi yang biasa digunakan pada saat Seba, perayaan perkawinan, khitanan dan lain-lain. Pakaian tersebut dua lapis, yaitu baju hitam dipakai diluar dan baju putih didalam juga celana pendek berwarna hitam pula. Pakaian resmi yang demikian dirasakan cukup panas, maka jalan keluarnya dibuatkan pakaian hitam dengan ditambah tempelan kain putih yang dibuat mirip krah baju, seakan-akan pemakaiannya memakai dua pakaian sekaligus.
Pria Baduy Panamping sebelumnya tidak memakai celana pendek berwarna hitam, melainkan memakai kain sarung poleng hitam (hitam bergaris putih) sebatas lutut. Perubahan dari kain sarung poleng hitam ke celana pendek hitam, terjadi pada saat orang Baduy menyerahkan hasil bumi sebagai tanda setia (seba) kepada Dalem Banten, seseorang yang ditugaskan tiba-tiba larangannya (kemaluannya) terlihat, sehingga orang melihat mentertawakan, maka Dalem Banten memerintahkan orang Baduy Panamping, jika tidak terpaksa sebaiknya memakai celana pendek hitam hasil tenunan Baduy, untuk membedakan bahan celana dengan bahan baju, maka kain celana harus berserat seperti kayu pohon aren. Sejak saat itulah pria Baduy Panamping memakai celana pendek. Tetapi di beberapa kampung Panamping masih ada yang memakai kain sarung poleng hitam tanpa celana dalam, mereka ini disebut ‘Kaum Dalem’, yang berada di kampung Cibongkok, Cikopeng, Cicatang, Pamoean, Cibogo, Cisadane, Batubeulah, Cikulinseng, Ciranji, Cijanar, Cisagu landeuh, Cisagu Tonggoh, Cikadu, Cijengkol, Cicangkudu dan Cipiit. Ikat kepala berwarna hitam atau biru tua bermotif batik tidak dihasilkan sendiri oleh orang Baduy, begitu pula bahan pakaian untuk Panamping banyak yang berasal dari tenunan pabrik, sedangkan yang menggunakan hasil tenunan Baduy jumlahnya makin sedikit. Wanita Panamping pakaiannya menggunakan samping hitam atau biru tua dapat bermotif batik, bajunya sedikit lebih terang dan berwarna biru muda, ungu atau putih yang dibeli dari pasar desa atau dari Rangkasbitung.
Pewarna kain hitam atau biru tua tidak lagi menggunakan bahan pewarna dari kulit kayu tarum, melainkan sudah menggunakan bahan kimia karena selain mudah menggunakan juga warnanya tahan lama. Penggunaan pelita untuk penerangan rumah di malam hari di kampung Tangtu Cibeo mengalami perubahan. Bahan baker pelita pada mulanya menggunakan minyak buah picung, tetapi pohon picung tidak berbuah sepanjang musim. Maka untuk itu sekarang digunakan minyak goring tetapi minyak goreng kadang digunakan keperluan lain, akhirnya mulai menggunakan lilin. Begitu pula untuk penerangan untuk berjalan malam jika akan berkunjung ke rumah tetangga, mereka biasanya menggunakan pohon kaso kering atau daun pohon kelapa kering yang dibakar. Karena terlalu berbahaya dapat mengakibatkan kebakaran, maka sekarang diganti dengan lilin. Agar apinya tidak mati tertiup angina, lilin tersebut dihalangi bato kelapa yang tengahnya dilubangi.
Kampung Dangka yang berfungsi sabagai penahan perubahan yang masuk dalam kehidupan warga masyarakat Baduy di desa Kanekes dipimpin Jaro Dangka yang langsung berhubungan dengan organisasi social masyarakatnya, mereka adalah Jaro Tujuh, dianggap sebagai Pamageuh Alam ( penguat alam ) yang sengaja dimunculkan dengan tujuan untuk mententramkan dunia. Hal itu berhubungan dengan kepercayaan orang Baduy yang menganggap bahwa Batara Tunggal menciptakan alam semesta sebanyak 7 X ( tujuh kali ) sedangkan alam dunia 1 X ( satu kali ), sehingga untuk penguat alam dan pikukuh perlu dibentuk Jaro Tujuh.
Jaro Dangka yang bermukim di luar desa Kanekes sudah ada yang meninggalkan kampungnya kemudian kembali ke desa Kanekes, hal ini disebabkan adanya pertentangan dengan pemuka masyarakat atau kepala desa setempat.
Jaro Panyaweuyan di desa Karang Gombong sama halnya seperti Jaro Kamancing terusir dari tanah dangkanya kemudian pindah ke kampung Batara.
Kehidupan warga masyarakat diatur oleh rukun tetangga dan kokolet lembur yang berada di setiap kampung lama( Utama ) panamping. Organisasi adat baduy akan mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan pada saat tertentu, hal ini adalah toleransi pikukuh terhadap tantangan yang ada, sehingga pikukuh akan tetap terjaga dari rombongan yang akan mengubah kehidupan warga masyarakat baduy. Perubahan dalam kehidupan warga masyarakat bukan berarti dikehendaki atau tidak, melainkan tuntutan perkembangan jaman yang meharuskan bahwa bagian instusi sosial harus berubah dan beradaptasi terhadapnya tanpa dapat dicegah, sehingga terjadi toleransi terhadap itu, maka perubahn tersebut dianggap tidak melanggar norma budaya.
Perubahan Yang dianggap melanggar pikukuh.
Perubahan yang dilakukan orang Baduy sejak dahulu telah ada, sehingga perlu penanganan dari pemuka adat dan puun untuk mengatasinya.
Perubahan yang dialami orang baduy tungku biasanya berhubungan dengan status mereka karena pelanggaran terhadap pikukuh yang dilakukan langsung berhadapan dengan Sidang Adat, si pelanggar dibuang ke kampung dangaka selama 40 hari untuk bekerja di tanah Dangka. Adapun pelanggaran tersebut adalah mencuri, berzina, orang dewasa mengobrol dengan lawan jenis yang bukan suami istri, naik mobil, berbohong menipu, bertengkar, berkelahi dan memiliki perlengkapan hidup yang dilarang. Terdapat tiga kampung dangka yang digunakan untuk menampung pelanggar pikukuh dari kampung Tangtu ialah, kampung Dangka Sibengkung menampungpelanggar dari Cikeusik, kampung dangka cihulu menampung pelanggar Cibeo dan kampung dangka Panyaweungan yang sekarang berada di Cisaban menampung pelanggar dari Cikartawana. Hukuman kerja selama 40 hari di cibengkung sudah jarang dilakukan, setelah seminggu atau 5 hari pelanggar dianggap selesai menjalani hukuman, maksudnya agar jangan sampai terpengaruh oleh warga masyarakat yang berada di kampung sekitarnya, yang menyebabkan pelanggar tidak mau kembali ke Tangtu, melainkan menjadi orang baduy Penamping atau meninggalkan dari pikukuh Baduy. Sedangkan pelanggaran berat seperti : mencuri( mencuri padi dianggap sebagai pelanggaran paling berat), bertengkar, berkelahi dengan sesama orang tangtu dan berzina menyebabkan tidak dapat lagi menjadi ornag tangtu setelah menjalani hukuman di kampung dangka, mereka langsung berubah menjadi orang baduy penamping. Bagi mereka yang pelanggaranya dianggap ringan dapat kembali menjadi orang tangtu, tetapi harus membersihkan diri melalui penyerahan bokor dengan diisi dengan sirih dan uang penebus kesalahan, yang besarnya ditentukan puun dan jaro dangka yang bersangkutan.
Orang baduy Tangtu dapat menjadi orang penamping tanpa melakuakan pelanggaran yang berarti tetapi melalui perkawinan antara pria tangtu dengan wanita penamping atau sebaliknya terkecualian bagi pria tangtu keturunan puun dan dianggap penting, yang kawin dengan wanita penamping, maka pengantin wanita harus ditarik menjadi orang tangtu. Sebelum menjadi orang tangtu pengantin wanita diharuskan memenuhi persyaratan Pembersihan diri melalui penyerahan bokor kepada puun. Begitu pula halnya bagi seseorang yang keluar dari tangtu, terlebih dahulu dengan sengaja melakukan pelanggaran agar dikenakan hukuman di dangka dan wajib melakuakan pembersihan diri, kemudian disuruh memilih tetap tinggal di tangtu atau menjadi orang penamping. Akhirnya yang bersangkutan dapat menikah wanita panamping. Perpindahan mereka menjadi orang Baduy panamping dapat juga atas dasar keinginan sendiri, yang disebabkan terlalu ketatnya memegang pikukuh, akhirnya dengan sengaja melakukan pelanggaran agar dapat keluar dari kampung tangtu.
Pelanggaran yang dilakukan orang baduy Panamping berhubungan dengan penerimaan ide perubahan (adopsi inovasi) terutama pemilikan perlengkapan kebutuhan hidup, seperti alat-alat makan (sendok, garpu, gelas dan piring selain keramik), pakaian (kaos, jelana panjang, celana dallam, baju selain hitam atauppputih, jelana pendek selain hitam, kain samping selain hitam atau biru tua yang biasa dipakai wanita dan pakaian anak-anak dipakai tidak seperti orang dewasa), cerek, lampu senter, lampu tempel yang menggunakan minyak tanah, kasor, anduk, sikat dan pasta gigi, jam tangan, radio dan lain-lain yang sebelumnya tidak ada dalam kehidupan mereka. Semua perlengkapan hidup tersebut jika kena operasi pemberihan akan dihancurkan, karena itu biasanya sebelum dilaksanakan operasi pember tidak baik diserahkan untuk dihancurkan. Walaupun operasi pembersihan dilakukan setiap tahun, orang Baduy Panamping tetap saja membeli perlengkapan hidup yang diangkap Buyut, bigitu pula pembersihan dilakukan terhadap tumbuhan yang dilalang ditanam di Desa Kanekes, seperti pohon kopi dan cengkeh walaupu ditebang, mereka menanamnya kembali. Adapun alasan tumbuhan yang dilalarang karena pada jaman kolonial Belanda wajib ditanam rakyat Indonesia sebagai tanam paksa. Sedangkan orang Baduy, buyut untuk kerjasama dengan Belanda. Akibatnya jika orang Baduy di Desa Kanekes diketahui menanamnya maka pohon tersebut ditebang.
Pelangkaran terhadap Pikukuh dilakukan pula di lahan pertanian, seperti penggunaan Herbisida untuk membasmi tumbuhan yang tidak dikehendaki dan penggunaan Pestisida untuk memberantas hama padi. Penyemprotannya dilakukan pada malam hari maksudnya agar tidak diketahui pemuka adat. Nampaknya penggunaan obat-obat pertanian belum terkena operasi pembersihan karena dilakukan secara sembunya pada malam hari, sehingga pembuka adat tidak melihatnya.
Warga Kampung Panamping ada yang tidak terkena operasi pembersihan, tetrapi hanya diperingatkan saja oleh yang ditugaskan dalam hal itu, yaitu Kampung Gerendeng di Desa Karang Combong. Tidak sampainya operasi pemberihan karena Kampung Gerendeng dilindungi Kepala Desa Karang Cembung. Segala perlengkapan hidup yang menjadi milik orang Kampung Gerendeng tidak boleh diganggu, sehingga orang Baduy Panamping di Kampug itu bebas memiliki barangk perlengkapan hidupnya.
Pelanggaran dilakukan pula oleh orang Baduy Tangtu dalam hal menikmati kesenangan dengan jalan menonton TV milik masyarakat sekitar Desa Kanekes, seperti di Ciboleger pelanggaran ini dilakukan sore hari yaitu menonton TV secara terang-terangan denga alasan menjual hasil bumi, jika selesai jual beli dan kembali ke Kampung Tangtu akan kemalaman di jalan, apalagi hari itu terjadi hujan, maka mereka akan bermalam di tempat si penampung atau tengkulak, ditempat inilah terdapat TV. Hal ini berlangsung setiap saat sehingga informasi perubahan dari TV diterima mereka, akan menambah penasaran untuk datang ke tempat yang muncul di TV seperti wilayah Banten, Bogor dan Jakarta. Keingin untuk mengetahui tempat-tempat tersebut dilaksanakan pada saat selesai menanam padi atau pada saat seba. Sepunglangnya dari tempat yang dikunjungi, mereka membawa pengalaman baru.
Pemuda Baduy Panamping yang pergi ke kota sambil berdagang atau mencari perlengkapan hidup, sudah jarang berpakaian hitam, tetapi sudah memakai baju, kaos oblong, jelana panjang (bahkan jeans), sandal, sepatu, demikian pula wanita Panamping sudah tidak memakai kain kebaya hitam atau biru tua dengan baju biru muda atau putih, tetapi sudah memakai sepatu, rok atau jelana panjang. Sebelum berangkat ke kota mereka berganti pakaian di luar Desa Kanekes, dan sekembalinya kelingkungan Baduy, mereka mekamai pakaian asli kembali.
Pemuda Kampung Kadu Ketug dan Cipondok ada yang dapat bermain gitar, lebih jauh lagi bersama-sama dengan pemuda Ciboleger ikut minum minuman keras sejenis anggur, anggu ketan hitam dan arak putih, sedangkan minuman tradisional yaitu Wayu (tuak yang berasal dari Nira pohon aren) mulai ditinggalkan.
Kampung Tangtu dan masyarakatnya tidak boleh difoto dengan alasan inti kehidupan (sari) kampung atau orang akan terbawa foto tersebut. Jika hal itu dilakukan terhadap kampung, akibatnya mudah ditimpa sial, seperti mudah kebakaran, panen tidak berhasil, ayam tidak beranak banyak, mengganggu kepergiannya diketahui oleh warga masyarakat bersangkutan. Orang Baduy yang meninggalkan Tikukuh dan keluar dari Desa Kanekes, baik melalui proyek pemukiman maupun perorangan sampai tahun 1993 hanya 54 orang yang meminta ijin kepada Jaro Cihulu.
Orang Baduy Panamping yang berhuma jauh di luar desanya tidak dapat ulang alik setiap hari, mereka harus bermalam di saung huma yang tertutup, jika lamanya tinggal di lahan pertanian itu lebih dari 5 atau 7 hari, maka wajib lapor kepada Jaro Pamarentah, bahwa ia masih ada di huma. Hal tersebut dilakukan jika orang yang bersangkutan mengalami musibah atau ingin meninggalkan Pikukuh dapat diketahui.
Orang Baduy yang akan pindah mengikuti proyek pemukiman pada mulanya dihalangi dan ditakut-takuti seperti akan dibuang ke pulau terpencil, akan dimasukan ke agam Islam dan dikhitan kembali, akan diperkerjakan diperkebunan tanpa dibayar dan lain-lain. Maksudnya agar orang Baduy merasa takut dan ragu-ragu, sehingga mereka urung meningkalkan Pikukunya. Begitu juga setelah berada di proyek Pemukimanpun akan diajak kembali ke Desa Kanekes.
Orang luar Desa Kanekes sering melakukan rong-rongan seperti mencuri ayam atau buah-buahan, jika pencurinya tertangkap disuruh mengganti kerugian, atau diserahkan kepada yang berwajib. Rongrongan tersebut dapat pula berupa pelanggaran batas wilayah dan penyerobotan wilayah lahan garapan, maka Jaro Pamarentah dan tanggunga Jaro dua belas bertugas menyelesaikan masalah tersebut.
Munculnya perubahan dari dalam dan adanya rongrongan dari luar akan mengganggu tantanan yang telah ada, maka lembaga sosial berusahan untuk mengatasinya melalui saluran yang telah disediakan.
Tempaan Perubahan terhadap struktur sosial.
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakat baduy akan menggoyahkan unsur sosialnya, sehingga pemuka adat berkewajiban mempertahankan unsur sosial itu, tetapi adanya perubahan pola kehidupan, lambat laun struktur goyah pula.
Unsur-unsur sosial sebagai pedukung struktur sosial masyarakat baduy yang terpengaruh oleh adanya perubahan diuraikan sebagai berikut;
Munculnya kelompok sosial yang menyimpang
Pelanggaran terhadap pikukuh yang dilakukan oleh beberapa orang Baduy yang membentuk kelompok sendiri, seperti yang pernah dipimpin oleh samin mantan Jaro pamarentah (Kepala Desa) Desa Kanekes, kemudian anggota kelompok tersebut mengadopsi perubahan yang dibawanya untuk dibawa kelompok ini mendorong kelompok baduy lain untuk melakukan perubahan yang sama.
Kemapanan yang ada di dalam kehidupan akan mendorong warga masyarakat ingin mengenal hal yang baru yang sebelumnya tidak ada dalam kehidupan mereka, sehingga memunculkan kelompok yang menginginkan perubahan.
Perubahan Sosial dan Budaya.
Perubahan yang dialami orang baduy akan diikuti perubahan kebudayaannya, seperti yang ditunjukan oleh perubahan unsur kebudayaan yang universal berikut ini.
a. Peralatan dan perlengkapan hidup. Peralatan pertanian yang digunakan orang baduy mendapat tambahan yaitu alat penyemprot yang digunakan untuk memberantas rumput atau tumbuhan liar (herbisida), serta hama tanaman (pestisida), penggunaan alat dan obat pertanian ini dilakukan secara sembunyi. Alat-alat pertukangan untuk kayu sebagai pendukung membuat rumah di kampung panamping telah menggunakan gergaji pembelah, gergaji pemotong, paku, pahat, bor kayu, serutan atau ketam ( Bah. Sunda=sugu) dan alat ukur(meteran). Alat-alattersebut sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan orang baduy. Alat pertukangan yang dikenal dalam kehidupan mereka yaitu baliung, golok dan kapak. Peralatan hidup yang digunakan sehari-hari untuk minum yang terbuat dari pecah belah telah diadopsi. Selain pecah belah, diadopsi pula penggunaan lampu senter, Thermos, sendok-garpu, rantang, kastrol nasi,Pakaian, dan lain-lain.
b. Mata pencaharian orang baduy adalah bertani dengan padi sebagai tanaman utamanya, tetapi mereka telah menambah jenis tanaman lain yaitu cengkeh dan kop. Mata pencaharian tambahan ialah adalah berdagang atau menjadi buruh di luar Desa Kanekes.
c. Pemuka adat dalam organisasi sosial masyarakat baduy yang dipegang jaro dangka, Jaro Pamarentah, Tanggungan Jaro duabelas dan jaro tangtu, sebagai pemegang dan pemelihara pikukuh baduy, senantiasa berusaha untuk mempertahankan pikukuh dari perubahan yang terjadi dalam kehidupan warga masyarakatnya. Tetapi seteleh beberapa Jaro Dangka terusir dan berpindah (atau ditarik) ke desa Kanekes, nampak pengawasan mereka terhadap perilaku orang baduy yang Menyimpang sudah berkurang dan mereka lebih menitikberatkan pada operasi pembersihan pikukuh saja yang dilaksanakan setahun sekali.
d. Bahasa yang digunakan orang baduy adalah bahasa sunda dialek Kanekes, tetapi sekarang ini orang baduy sudah banyak yang dapat berbicara bahasa Indonesia, karena seringnya berinteraksi dengan masyarakat luar. Diantara mereka banyak yang sudah dapat membaca dan menulis.
e. Kesenian yang terdapat di desa Kanekes terbatas pada angklung dan pantun( dongeng dengan diiringi oleh kecapi) sedangkan di beberapa kampung panamping dikenal adanya Gamelan (Kliningan tanpa menggunakan gendang). Kesenian tersebut mendapat pengaruh, karena adanya tontonan Wayang Golek dan Dongeng di Sekitar desa Kanekes.
f. Pengetahuan yang dimiliki mereka tidak hanya warisan Karuhun (Leluhur) saja, mereka juga memperoleh informasi dari bacaaan, televisi, maupun dari orang lain yang sengaja berkunjungke desa Knekes. Pengetahuan mengenai pengobatan juga tidak terbatas pada pengobatan tradisional yang biasa dilakuakn dukun, melainkan juga pengobatan yang dilakukan dokter dari puskesmas di ciboleger. Begitu juga mengenai pentingnya keluarga berencana, diantaranya mereka secara sembunyi menerima dan mengikuti program keluarga berencana dari pemerintah, yang dilakukan orang Cisaban, kaduketug, gerendeng dan cipondok.
g. Kepercayaan yang diyakini orang baduy adalah Sunda Wiwiwtan tidak mengalami perubahan, tetapi orang baduy yang meninggalkan pikukuhnya, menjadi migran di tempat lain, mereka ini beralih memeluk Agama Islam atau kristen protestan.
Adanya interaksi sosial dan tempaan perubahan dari luar akan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat dan nilai budaya sebagai identitas mereka akan tergeser.
Kepatuhan terhadap lembaga sosial.
Kehidupan warga masyarakat baduy tidak terlepas dari pikukuh yang mengatur perilaku mereka, tetapi pikukuh ini oleh beberapa orang Baduy panamping tidak sepenuhnya dilakukan, akibat kurangnya pengawasan pemuka adat.
Jaro dangka yang bertanggung jawab memegang dan memelihara pikukuh, sudah mulai kurang menegakkan pikukuh. Sekalipun demikian harus menjalankanfungsinya, karena Jaro Dangka diangkat berdasarkan hasil nujum dari tangkesan yang menjadi wakil puun di panamping, sehingga jabatan jaro Dangka berlaku seumur hidup. Sedangkan penganakatan dan penggantian Jaro Pamarentah selain berdasarkan hasil nujum, juga persetujuan pimpinan Jaro Tujuh (Jaro warega), jabatan tersebut dapat berhenti jika mengundurkan diri atau diberhentikan karena tidak dapat melaksanakan tugas.
Jaro pamarentah, jaro Damgka, Tanggungan Jaro Duabelas Dan Jaro Tangtu setiap tahun mengadakan operasi pembersihan terhadap perlengkapan hidup yang dilarang pikukuh. Tetapi operasi ini sudah dua tahun terakhir tidak dilakuakan, karena dua hal, Pertama, tahun 1991 Asrap diangkat menjadi jaro Pamarentah adalah awal melaksanakan tugas di desa Kanekes. Di tahu 1992 saat akan melaksanakan operasi pembersihan, jaro pamarentah pada rapat dihadapan pemuka adat di kampung tangtu cikeusik menyatakan bertanggung jawab terhadap pelangggaran pikukuh yang dilakukan masyarakatnya, sehingga operasi pembersihan tahun 1992 tidak dilaksanakan. Kedua, pada tahun 1993 setelah pemuka adat mengadakan rapat di cikeusik untuk melaksanakan operasi, kampung cikeusik mengalami kebakaran, sehingga operasi pembersihan tidak sempat dilaksanakan.
Sikap orang Tangtu dalam menghadapi perubahan.
Orang baduy tangtu sekarang ini lebih terbuka terhadap pengunjung (terutama cibeo) kecuali orang kulit putih dan cina, keterbukaan ini akan dapat menolong orang baduy Tangtu untuk menjadi orang panamping. Karena itu pemuka adat di kampung tangtu senantiasa mengawasi perilaku mereka dengan ketat agar jangan sampai mengalami perubahan, jika da yang menyeleweng maka sudah tersedia Kampung Dangka yang menerima pelanggar.
Status sosial yang dimiliki seseorang sebagai identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain, tidak dapat dipertahankan lagi apabila orang yang memegang status tersebut sudah tidak memerlukannya perubahan status ke tingkat yang lebih rendah akan terjadi apabila tidak mengakibatkan kerugian.
Perubahan kekuasaaan dan wewenang.
Jaro danga yang terusir dari kampungnya tidak memiliki kekuasaan terhadap tanah dangka, walaupun masih memiliki wewenang dalam memelihara dan menjaga pikukuh baduy.
Kekuasaan yang dimiliki seseorang dapat saja hilang walaupun masih memiliki wewenang, apabila yang bersangkutan masih diperlukan menduduki jabatan dalam lembaga sosialnya
Orang Baduy yang cenderung menerima perubahan, akan mempersiapkan diri dengan stategi untuk menghadapi konsekuensi dari perubahan tersebut. Inovasi yang mengakibatkan pperubahan bagi kehidupan orang Baduy banyak mendapat tanggapan dari warga masyarakat maupun pemuka adat, berupa penerimaan ataupun penolakan.
Strategi hidup ini pertama kalinya diketahui pada saat pembukaan proyek pemukiman yang pertama Cipangempar. Inovasi yang dibawa Samin (mantan Jaro Pamarentah) telah membawa perubahan besar bagi mereka yang menerimanya tetapi konsekuensi harus keluar dari kehidupan Baduy, kemudian pindah ke proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing yang disediakan Departemen Sosial melalui Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Lebak. Di proyek pemukiman itu, mereka berusaha melepaskan ikatan pikukuh Baduy dan menjadi masyarakat biasa. Strategi yang dipersiapkan mereka adalah :
1. Memiliki pertanian diluar Desa Kanekes
2. Lahan pertanian yang masih dimiliki di Desa Kanekes, penggarapannya diserahkan kepada saudaranya yang masih ada disana.
3. Tidak semua anggota keluarga mengikuti perubahan, jika yang pergi orang tuanya, maka sebagian anak ditinggal.
4. Kepercayaan terhadap Pikukuh dan kepercayaan Baduy belum dilepaskan sebelum berhasil mendapatkan rumah dan lahan pertanian yang dijanjikan pemerintah.
Strategi yang dibuat untuk menghadapi resiko kegagalan dalam menyerap inovasi bila perlu mereka dapat kembali ke Desa Kanekes. Tidak menutup kemungkinan bahwa diantara penerima inovasi tersebut tidak semuanya menggunakan strategi secara utuh atau tidak menggunakan strategi sama sekali, misalnya :
1. Di Desa Kanekes sudah tidak memiliki lahan pertanian, yang ada sudah dijual, begitu pula di luar Desa Kanekes tidak memiliki pertanian.
2. Seluruh anggota keluarga turut pindah.
3. Langsung menerima perubahan, ke luar Pikukuh Baduy dan memeluk agama-agama besar (Islam atau Kristen).
Inovasi yang di bawah Samin tersebut, mendapat dukungan pemerintah dengan menyediakan lahan pemukiman dan untuk pertanian di bekas Perkebunan Karet Gunung Tunggal seluas ± 90 ha dari PT Langka Pura yang sisanya dari lahan kecamatan Leuwi Damar di Kampung Cipangembar. Setelah Samin dan pengikutnya bermukim di Cipangemar, kemudian diikuti oleh yang lain tetapi bukan murni ide perubahan dari warga masyakat Baduy sendiri, melainkan sudah direkayasa Departmen Sosial. Mereka ini medapatkan lahan pemukiman dan pertanian yang diberi nama Kopo I, Kopo II dan Suka Tani dibekas Perkebunan Karet Pasir Kopo seluas ± 500 ha dari PT Karkokultura.
Berpindahnya orang Baduy ke proyek pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing tidak lepas dari tarikan sebagai pemerintah. Strategi pemerintah untuk menarik pemukim berupa :
1. Disediakannya 0,5 ha untuk rumah dan pekarangan
2. Lahan garapan
3. Jaminan hidup selama 6 bulan untuk Cipangembar, Kopo I dan Kopo II yang setiap bulannya perkeluarga medapat 40 kg beras, 2 kg ikan asin, 2 kg gula putih dan 2 pak terasi. Sedangkan Suka Tani dan Kompol I mendapat jaminan hidup selama 30 bulan perkeluarga, seeetiap bulan menerima 30 kg beras, 2 kg gula pasir, 2 kg ikan asin dan 2 pak terasi.
Situasi sosial ini identik dengan strategi dalam pertanian (game), dimana penerima perubahan dan pemerintah (Departemen sosial Propinsi jawa barat) berperan sebagai pemain yang masing-masing memiliki Strategi. Proses bermain tersebut didapati adanya kerjasama diantara mereka ( penerima inovasi) sebagai suatu strategi, disamping itu terapat pula kerjasam dengan pemerintah, untuk menjamin kelangsungan hidup di tempat yang baru hasil kerjasama dengan pemerintah diantaranyan diberangkatkan Samin ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah Haji pada tahun 1989 yang kemudian disusul anaknya pada tahun 1990. Strategi diperlukan bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya, sehingga dapat mengatasi segala kemungkinan yang merugikan dirinya.

PENUTUP

Perubahan orang Baduy terhadap pikukuhnya secara jelas dimulai adanya interaksi sosial dengan warga masyarakat diluar kehidupan sosialnya, sehingga orang Baduy akan membandingkan kepuasan yang didapat dari ketaatan terhadap pikukuh dan kepuasan melakuan hubungan dengan warga masyarakat luar ( Pertukaran Sosial ). Apabila hubungan dengan warga masyarakat luar mendapat imbalan yang lebih menguntungkan, maka mereka akan mengadopsi perlengkapan hidup yang sebelumnya tidak dikenal. Tetapi hal itu tergantung pula pada orang Baduy sendiri, apabila mereka masih takut mendapat hukuman dari pemuka adat atau takut ditimpa musibah ( bencana ), maka mereka akan tetap taat terhadap pikukuh. Keinginan untuk berubah ditunjang dengan adanya ide perubahan yang dibawa tokoh masyarakat, agar orang Baduy menerima perubahan dan meninggalkan pikukuhnya, diantara mereka yang menerima perubahan, ada yang mempersiapkan strategi hidup, sedangkan yang tidak turut mengikuti perubahan tetap memegang pikukuhnya. Menerima perubahan memerlukan strategi untuk kelangsungan hidup mereka ditampat baru, yang berfungsi untuk menjaga segala kemungkinan yang akan merugikannya. Bagi yang mereka yang berhasil menggunakan strategi hidup, maka akan terus melakukan adaptasi seperti halnya di proyek pemukiman yang telah disediakan, dan menjadi masyarakat biasa yang lepas dari pikukuhnya Baduy, sedangkan yang tidak berhasil dalam strategi hidup dan beradaptasi, maka akan kembali kepada pikukuhnya di desa Kanekes. Perubahan yang dialami orang Baduy tidak lepas dari dari pengawasan pemuka adat yang seantiasa berusaha menetang perubahan dan mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh.
5 Alexander Rizki's Blog: Dinamika Kebudayaan Masyarakat Suku Baduy PENDAHULUAN Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap...

1 comment:

< >