Monday, March 21, 2011

Kajian Yuridis Terhadap Artikel Gratifikasi Agus Condro


ARTIKEL GRATIFIKASI

·    Artikel latar belakang kasus Agus Condro

Menerka Ujung Kasus Agus Condro

Setelah sekian lama publik menanti, KPK meningkatkan status kasus dugaan suap dalam pemilihan deputi gubernur senior BI pada Juni 2004 lalu dari penyelidikan ke penyidikan. Hal itu ditandai dengan penetapan empat tersangka pertama, yang saat ini semuanya berasal dari kalangan DPR. Mereka adalah Endin A.J. Soefihara (anggota DPR dari Fraksi PPP), Dudi Makmun Murod (anggota DPR dari Fraksi PDIP), Hamka Yamdu (mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar), dan Udju Djuhaeri (mantan anggota DPR dari Fraksi TNI-Polri).
Latar belakang para tersangka yang berbeda fraksi itu semakin menguatkan dugaan bahwa pemberian cek perjalanan yang nilainya ditaksir Rp 500 juta per lembar tersebut bukan hanya melibatkan fraksi besar di Komisi IX DPR periode 1999-2004. Namun, hampir semua fraksi yang ada di dalamnya. Kalkulasinya mudah, di antara total 56 anggota Komisi IX DPR, calon pejabat publik yang ingin terpilih harus mendapatkan sekurang-kurangnya 50+1 suara dukungan.

Sementara komposisi anggota DPR di komisi IX tidak ada satu pun fraksi yang memiliki anggota mayoritas mutlak. PDIP sebagai fraksi terbanyak hanya diwakili 17 anggota, disusul Golkar dengan 15 kader, 7 dari PPP, 5 dari PKB, 5 dari Fraksi Reformasi, dan 4 dari Fraksi TNI-Polri. Tiga suara sisa dibagi rata untuk Fraksi Daulat Ummat, Fraksi Bulan Bintang, dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia.
Catatan hasil pemilihan deputi gubernur senior BI pada Juni 2004 menunjukkan, total dukungan yang diberikan kepada Miranda Gultom mencapai 41 suara. Jika seluruh suara Fraksi Golkar, PDIP, PPP, dan TNI-Polri digabung, akan terdapat 41 suara, yang berarti klop dengan dukungan yang didapatkan Miranda Gultom saat pemilihan.
Naik Pasca-Antasari

Spekulasi bahwa kasus Agus Condro tidak akan dapat diproses KPK kini telah dibayar kontan dengan penetapan empat tersangka. Masalahnya, status kasus itu naik menjadi penyidikan setelah Ketua KPK Antasari Azhar (AA) harus dinonaktifkan karena menjadi tersangka kasus dugaan pembunuhan. Ini bisa diartikan, ada masalah nonteknis di KPK selama AA menjadi ketua KPK yang membuat kasus suap yang dilaporkan Agus Condro begitu lama tertahan di tingkat penyelidikan.
Oleh karena itu, Komite Etik KPK yang kini tengah mempelajari dan mendalami berbagai dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua KPK nonaktif AA perlu juga melihat kemungkinan pelanggaran pada penanganan berbagai kasus korupsi di KPK. Langkah ini penting untuk mengembalikan KPK sebagai lembaga independen yang kredibel dan memiliki integritas tinggi.
Agar Komite Etik bisa lebih objektif dan hasilnya mendalam, alangkah baiknya jika pimpinan KPK saat ini mengakomodasi perwakilan masyarakat untuk masuk sebagai anggota komite. Mereka bisa berasal dari kalangan akademisi, tokoh LSM, atau tokoh masyarakat yang sudah diakui serta dikenal luas integritas dan kredibilitasnya.
Calo Perbankan

Belajar dari kasus suap BI terdahulu yang melibatkan gubernur BI dan petinggi BI lainnya, penetapan empat tersangka oleh KPK dalam dugaan kasus suap pemilihan deputi gubernur senior BI bisa dilihat sebagai langkah awal saja. Sebagai sebuah kasus politik uang, tentu di dalamnya ada yang disuap dan ada yang menyuap. Saat ini KPK baru berhasil mengungkap sebagian kecil pihak yang menerima suap. Sementara yang memberikan suap belum diproses sama sekali.
Karena praktik politik uang di DPR merupakan bagian dari bentuk kejahatan terorganisasi, maka sudah dapat dipastikan jika ada yang menjadi bos dan anak buah. Merujuk pada pengakuan Agus Condro ke KPK, bisa disebut bahwa Agus Condro adalah anak buah. Dia tidak mengetahui sama sekali transaksi politik tersebut.
Pendek kata, kegiatan semacam itu bukan merupakan tugas Agus Condro, tetapi ada petinggi di komisi IX yang lebih berwenang melakukan negosiasi. Dengan begitu, mengungkap otak di balik suap itu merupakan tanggung jawab KPK yang telah menetapkan beberapa anggota DPR sebagai tersangka.
Pekerjaan berat KPK lainnya adalah mengungkap siapa yang membiayai transaksi politik uang dalam pemilihan deputi gubernur senior BI. Kemungkinannya dua. Pertama, transaksi itu dibiayai sendiri oleh Miranda Gultom. Kedua, ada pihak lain yang menjadi donatur agar anggota komisi IX memilih Miranda.
Kemungkinan yang pertama sangat kecil. Sebab, catatan kekayaan Miranda Gultom pada 2001 yang dilaporkan ke KPKPN hanya sekitar 6 miliar rupiah. Sangat mustahil dalam kurun tiga tahun, yakni pada Juni 2004, Miranda Gultom mampu membiayai pemilihan dirinya hingga mencapai Rp 24 miliar.
Oleh karena itu, kemungkinan kedua menjadi lebih logis, yakni adanya donatur yang memberikan dukungan finansial penuh agar Miranda terpilih. Saksi berinisal ‘N’ yang disebut-sebut KPK bisa jadi adalah Nunung yang dulu sempat beberapa kali diperiksa KPK. Nunung adalah istri Adang Dorodjatun, mantan pejabat Polri dan mantan calon gubernur DKI Jakarta. Pertanyaannya, dalam kapasitas sebagai apa saksi berinisial ‘N’ diperiksa KPK jika bukan karena terkait dengan aliran uang ke anggota komisi IX?
Sementara jika melihat latar belakangnya, ‘N’ bukanlah pihak yang memiliki kepentingan langsung dengan sebuah bisnis yang berkaitan dengan kebijakan pengawasan Bank Indonesia. Oleh karena itu, hipotesis yang bisa diajukan adalah bahwa ‘N’ bukanlah penyumbang sesungguhnya. Bisa jadi, dia hanya sebagai perantara dalam kasus tersebut.
Lantas, siapa yang menjadi calo dalam pemilihan deputi gubernur senior BI kala itu? Itulah pertanyaan penting yang harus dicari jawabannya. (Sumber: Jawa Pos, 11 Juni 2009).
Tentang penulis:
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW
Sumber: http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/06/15/menerka-ujung-kasus-agus-condro/ diakses pada Rabu, 15 Desember 2010


·       Artikel perkembangan kasus Agus Condro
Rabu, 01/09/2010 17:53 WIB
Kasus Suap Pemilihan Miranda

Agus Condro: Penetapan 26 Tersangka Jadi Peringatan Buat Anggota DPR 

Indra Subagja – detikNews

Jakarta - Agus Condro ikut dijadikan tersangka dalam kasus suap pemilihan DGS BI Miranda S Goeltom. Meski dia sebagai pelapor pertama kasus ini, mantan politisi PDIP ini siap saja. Namun dia berharap, penetapan tersangka dia dan 25 orang politisi lainnya bisa jadi pelajaran.
 
"Keputusan KPK menetapkan 26 orang sebagai tersangka tersebut bagus untuk terapi kejut, sekaligus peringatan bagi teman-teman DPR sekarang ini agar berhati-hati dalam bekerja," kata Agus saat dihubungi detikcom, Rabu (1/9/2010).

 Agus mengingatkan, anggota DPR jangan sekali-kali melakukan pelanggaran kewenangan untuk kepentingan pribadi. Karena posisi sebagai wakil rakyat, penyelenggara negara tentu harus bekerja untuk rakyat.

 "Agar jangan coba-coba mengkomoditasikan wewenangnya untuk mencari keuntungan materi," ujar Agus.
 Agus adalah yang pertama kali bernyanyi mengenai kasus suap ini. Dia mengaku mendapat cek pelawat Rp 500 juta dalam pemilihan Miranda pada 2004 lalu. Pengakuan Agus ini menyeret sejumlah mantan politisi menjadi tersangka. KPK menjerat Agus dan tersangka lainnya karena melanggar pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

 Dalam kasus suap pemilihan DGS BI tahun 2004 ini, 4 orang mantan anggota Komisi IX DPR telah divonis bersalah. Dudhie Makmun Murod (PDIP), Udju Djuhaeri (TNI/Polri) yang divonis pidana penjara selama 2 tahun, Hamka Yandhu (Golkar) selama 2 tahun 6 bulan penjara, dan Endin Soefihara (PPP) selama 1 tahun 3 bulan penjara.

 

Sumber: http://www.detiknews.com/read/2010/09/01/175346/1433049/10/agus-condro-penetapan-26-tersangka-jadi-peringatan-buat-anggota-dpr Diakses Rabu, 15 Desember 2010

ANALISIS KASUS


Dalam kasus Agus Condro seperti yang telah dikemukakan di dalam artikel di atas telah jelas dikemukakan bahwa kasus suap atas pemilihan Miranda Gultom sebagai Deputi  Gubernur Senior BI merupakan bentuk tindakan Gratifikasi yang memang termasuk dalam kategori kelompok tindak pidana korupsi, hal tersebut dapat kita lihat dalam pengertian UU sebagai berikut;
 
Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
  • Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
  • Pengecualian
    Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) :
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal penjelasan bunyi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat (1) di atas tetapi ada kontradiksi dengan penangkapan Agus Condro itu sendiri, karena pada dasarnya Agus Condro lah sang Whistle Blower atau pelapor atas kejadian penyuapan itu kepada KPK tetapi pada faktanya Agus Condro malah ditetapkan turut menjadi tersangka. Hal ini akan berdampak buruk bagi para orang yang berniat menjadi Whistle Blower kemudian hari, karena dia akan menjadi takut untuk melaporkan ksus yang ia ketahui karena terancam turut ditangkap, sehingga lebih baik diam daripada menjadi Whistle Blower yang sangat beresiko. Hal ini akan menghambat cita-cita pemberantasan korupsi secara inisiatif dari individu, padahal korupsi termasuk juga gratifikasi merupakan kejahatan yang struktural dan dibutuhkan inisiator untuk membongkar mata rantai korupsi tersebut.

Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,


Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK

Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:

  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

  1. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.


Pada akhirnya memang Agus Condro dkk. Terjerat pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang bunyinya;

Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

Berdasarkan penerapan pasal mengenai gratifikasi tersebut berarti menegaskan bahwa kasus Agus Condro merupakan kasus mengenai Gratifikasi. Terutama yang berkaitan dengan pemberian tiket perjalanan yang bernilai 500 Juta rupiah kepada beberapa anggota DPR yang memang pada akhirnya tertangkap dan beberapa telah dijatuhi hukuman seperti 4 orang mantan anggota Komisi IX DPR telah divonis bersalah. Dudhie Makmun Murod (PDIP), Udju Djuhaeri (TNI/Polri) yang divonis pidana penjara selama 2 tahun, Hamka Yandhu (Golkar) selama 2 tahun 6 bulan penjara, dan Endin Soefihara (PPP) selama 1 tahun 3 bulan penjara.
5 Alexander Rizki's Blog: Kajian Yuridis Terhadap Artikel Gratifikasi Agus Condro ARTIKEL GRATIFIKASI ·     Artikel latar belakang kasus Agus Condro Menerka Ujung Kasus Agus Condro Setelah sekian lama publik menanti, KP...

No comments:

Post a Comment

< >