Monday, March 21, 2011

Perlunya Syarat Insolvency Sebagai Syarat Pengajuan Pailit di Indonesia


PENDAHULUAN
Prolog
Masalah Insolvency merupakan hal yang esensial dalam hukum kepailitan. Pengadilan baru dapat menjatuhkan putusan pernyataan pailit apabila debitor berada dalam keadaan lnsolvensi, Pentingya lnsolvensi dalam hukum kepailitn karena merupakan salah satu syarat pemyataan pailit di samping Concursus Creditorum. Rumusan Insolvency yang tcrjdapat dala peraturan hukum kepailitan itu selalu berubah, faillis Faillissementsverordening, Stb, 1905 No.2l7 Jo Stb, 1906 No.348 mempergunakan rumusan "Keadaan Berhenti Membayar", sedangkan Perpu No.1 Tahun 1998 Jo. UU No.4 Tahun 1998 mempergunakan rumusan" keadaan tidak membayar" sementara UU No.37 Tahun 2004 mempegunakan rumusan "KeadaanTidak Membayar Lunas", Selain itu Peraturan Kepailitan juga tidak memberikan patokan batas minimal jumlah utang debitor sebagai salah satu syarat pernyataan pailit. Akibatnya suatu perusahaan yang solven dapat dinaytakan pailit asalkan terdapat minimal dua kreditor dan salah satu utang tersebul sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, Peraturan Kepailitan tidak pula menjelaskan apa yang dimaksud dengan "Keadaan berhenti mernbayar", "keadaan tidak membayar" dan "Keadaan tidak membayar luas", Demikian pula perturan kepailitan tidak mengatur secara lengkap mengenai permbuktian sederhana. Akibatnya, hal-hal tersebut menimbulkan interprestasi yang beragam dalam praktik peradilan. Berdasarkan latar belakang tersebut dapat menimbulkan permasalahan sebagai berikut : Pertama, bagaimanakah konsistensi kosep tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dikaitkan dugan prinsip pembuktian sederhana dalam perkara kepailtan di pegadilan niaga? Kedua apakah perlu diterapkan jumlah minimal utang yang telah jatuh waktu sebagai salah satu syarat pemyataan pailit, Ketiga, apakah ada perbedaan antara pengertian "tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menurut Perpu No.1 Tahun 1998 dan pengertian keadaan telah herhenti membayar utang menurut Failltssementsverordening? Metode penelitian yang dipergunakan dalam pcnclitian tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif Suatu metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan dan yurisprudensi. Berdasarkan penelitian tesis ini diperoleh hasil atau kesimpulan bahwa: Pertama, Konsep keadaan tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan inkonsistensinya dalam paktiknya di peradilan Niaga, baik peradilan Yudex facti, maupun yudex iuris. Kedua; Perlu diterapkan jumlah minial utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagai salah satu syarat pernyataan pailit, dan Ketiga, secara teoritis dan praktis terdapat perbedaan konsep keadaan "berhenti membayar utang" menurut Faillissementsverordening dan konsep "tidak membayar utang", menurut Perpu No.1 Tahun 1998. Disarankan bahwa dalam Undang-Undang Kepailitan yang baru atau Undang-undang Perubahan atas UU. No.37 tahun 2004 perlu dicantumkan jumlah minimal utang debitor, yang dapat ditagih misalnya 50% dari seluruh utangnya, Ketentuan ini untuk menghidarkan suatu perusahaan yang solven dapat dinyatakan pailit.

Definisi

Insolvency (insolvensi) menurut penjelasan pasal 57 ayat (1) UU 37 / 2004 adalah keadaan tidak mampu membayar.

Kepailitan menurut pasal 1 angka (1) UU 37 / 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Asas-asas dalam Kepailitan yang Pada Umumnya Ada dalam Suatu Negara
1.       Asas mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan memperoleh kredit luar negeri;
2.       Asas memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor;
3.       Asas putusan pernyataan pailit yang berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas;
4.       Asas permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolvent yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas;
5.       Asas keadaan diam sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit (standstill atau stay);
6.       Asas mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan;
7.       Asas permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut;
8.       Asas proses kepailitan harus terbuka untuk umum;
9.       Asas pengurus perusahaan yang karena kesalahannya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi;
10.    Asas memungkinkan utang debitor diupayakan restrukturisasi terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pernyataan pailit;
11.    Asas harus mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan debitor.

Asas-asas dalam Kepailitan di Indonesia
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.



Syarat untuk dapat Dinyakan Pailit Seperti yang Tercantum dalam Pasal 2 UU 37 / 2004
-          Debitor mempunyai dua kreditor / lebih.
-          Tidak membayar LUNAS sedikitnya satu utang.
-          Utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih. (dalam penjelasan pasal 2 UU 37 / 2004 yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapt ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaiman diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
-          Dapat dibuktikan secara sederhana.

Para pihak yang dapat Mengajukan Permohonan Pailit menurut pasal 2 UU 37 / 2004
-          Debitor.
-          Kreditor.
-          Kejaksaaan (untuk kepentingan umum, kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/kepentingan masyarakat luas, misalnya : debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas, debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelasaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu, dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum. (penjelasan pasal 2 ayat (2) UU 37 / 2004)).
-          Bank Indonesia (jika yang diajukan pailitnya adalah bank).
-          Badan Pengawas Pasar Modal (jika yang diajukan pailitnya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian).
-          Menteri Keuangan (jika yang diajukan pailitnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik).

Kelemahan UU 37 /2004
1.       Tidak diatur dan dibedakannya antara kemampuan debitor untuk membayar utang dengan kemauan debitor untuk membayar utang.
2.       Belum diadopsinya asas-asas lain yang seharusnya ada dalam UU Kepailitan di Indonesia.

INSOLVENSI
Menurut Dictionary Business of Term, Insolvency diartikan :
1.       Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis; atau
2.       Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.

Dalam pasal 178 ayat (1) UU 37/2004, insolvensi itu terjadi jika tidak ada perdamaian dan demi hokum harta pailit Nerada dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh utang yang wajib dibayar. Secara procedural hokum positif, maka dalam suatu proses kepailitan, harta pailit dianggap berada dalam keadaan tidak mampu membayar jika :
1.       Dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian; atau
2.       Perdamaian yang ditawarkan telah ditolak; atau
3.       Pengesahan perdamaian tersebut dengan pasti telah ditolak.

Dilihat dari seluruh proses kepailitan, tahap insolvensi dari debitor tersebut berada hampir pada penghujung proses kepailitan. Konsekuensi hokum dari terjadinya insolvensi dari debitor adalah :
1.       Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan tertentu (misalnya pertimbangan bisnis) yang menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih menguntungkan.
2.       Pada prinsipnya tidak ada rehabilitasi. Hal ini dikarenakan dalam hal insolvensi telah tidak terjadi perdamaian, dan aset debitor pailit justru lebih kecil dari kewajibannya. Padahal seperti yang dikatahui bahwa rehabilitasi hanya mungkin dilakukan antara lain apabila ada perdamaian atau utangnya dapat dibayar penuh, kecuali jika setelah insolvensi kemudian terdapat harta debitor pailit, misalnya karena warisan, sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian rehabilitasi dapat diajukan berdasarkan atas hal tersebut.

Permohonan pernyataan pailit seharusnya hanya dapat diajukan dalam hal debitor tidak membayar utang-utangnya kepada salah satu atau sebagian besar kreditor yang memiliki tagihan yang keseluruhannya paling sedikit lebih dari 50% dari seluruh utang debitor kepada semua kreditornya. Dengan kata lain, apabila kreditor tidak membayar kepada kreditor tertentu sajasedangkan kepada kreditor lain yang memiliki tagihan lebih dari 50% dari jumlah  seluruh utangnya tetap melaksanakan kewajiban dengan baik, maka terhadap debitor itu seharusnya tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit baik oleh kreditor maupun oleh debitor sendiri. (Sehubungan dengan asas permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolvent yaitu yang tidak membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas).

Perbandingan Pengaturan di Negara lain
Pengaturan mengenai pengajuan permohonan pailit di Amerika Serikat sebagaimana dala Title II United States Bankcruptcy Code terdapat klausula “Insolvent” yang mana dalam Bankcruptcy Code tersebut diartikan antara lain sebagai keadaan keuangan dari debitor yang lebih besar utangnya daripada asetnya dan dapat dibuktikan dengan Insolvency Test.
Undang-undang kepailitan Indonesia saat ini dianggap tidak sesuai lagi dengan filosofi kepailitan, khususnya untuk persyaratan untuk menyatakan pailit tersebut, dimana dengan dihilangkan klausula “debitor yang tidak mampu membayar”  tersebut maka tidak dapat dibedakan lagi mana debitor yang tidak membayar utangnya karena memang tidak mampu dan mana debitor yang tidak membayar utangnnya karena memang tidak mau.
Filosofi yang demikian secara umum tidak terdapat dalam UU kepailitan di Indonesia, yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan dari para kreditor dan kepentingan daripada debitor, dimana tidak ada istilah kepentingan kreditor yang lebih diutamakan atau kepentingan debitor yang lebih diutamakan.


5 Alexander Rizki's Blog: Perlunya Syarat Insolvency Sebagai Syarat Pengajuan Pailit di Indonesia PENDAHULUAN Prolog Masalah Insolvency merupakan hal yang esensial dalam hukum kepailitan. Pengadilan baru dapat menjatuhkan putusan perny...

1 comment:

< >