Monday, March 21, 2011

Analisis Pidana Tutupan di Indonesia


ABSTRAK
Sesuai dengan Undang-undang No.20 Tahun 1946 Pasal 1, maka selain pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, dan denda) yang diatur didalam pasal 10 KUH Pidana dan Pasal 6a pada KUH Pidana Tentara, terdapat satu lagi tambahan jenis pidana yang termasuk kedalam pidana pokok, yaitu “pidana tutupan” sebagaimana telah termuat dan diatur dalam UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Secara eksplisit Undang-undang No.20 Tahun 1946 mengatur tentang pidana tutupan, namun undang- undang tersebut dirasa kurang lengkap dengan tidak dimuatnya pertimbangan mengenai pembuatan undang-undang tersebut oleh para penggagasnya, sehingga menjadi sulit bagi kita untuk mengetahui hal/peristiwa apa yang melatar-belakangi pembuatan undang-undang tersebut.

Dalam upaya untuk memperjelas hal/peristiwa yang melatar-belakangi pembuatan Undang-undang No.20 Tahun 1946 serta penerapan-nya, penulis akan mepaparkan lebih lanjut sebuah kasus yang berujung pada penjatuhan pidana tutupan yang diangkat dari sebuah peristiwa yang memiliki korelasi tinggi dengan penerapan Undang-undang tersebut, yaitu Peristiwa 3 Juli 1946.

LATAR BELAKANG PERISTIWA
Peristiwa 3 Juli 1946
Setelah kemerdekaan diproklamasikan terdapat dua model perjuangan untuk menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia yaitu berunding atau mengadakan perlawanan bersenjata. Pemerintahan Sjahrir memilih jalan yang pertama, sedangkan Tan Malaka memiliki visi yang berbeda yaitu melakukan revolusi total. Kelambanan pemerintah Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan revolusi merupakan salah satu penyebab banyak pemuda, laskar dan massa mendukung pandangan Tan Malaka tersebut.
Peristiwa 3 Juli 1946 adalah suatu peristiwa kudeta yang dilakukan oleh pihak oposisi Kelompok Persatuan Perjuangan terhadap pemerintahan Kabinet Sjahrir. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Belanda. Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh, sedangkan kabinet yang berkuasa hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura.
Pemerintah Sjahrir menganggap pandangan kelompok ini mustahil dilaksanakan dan karenanya terus melanjutkan politik diplomasinya. Dukungan massa terhadap kelompok Persatuan Perjuangan akhirnya memaksa Sutan Sjahrir meletakkan jabatannya dan membubarkan Kabinet Sjahrir I. Presiden Soekarno turun tangan dan meminta Sjahrir untuk kembali membentuk kabinet dan akhirnya terbentuklah Kabinet Sjahrir II pada awal tahun 1946.
Perselisihan antara kelompok Persatuan Perjuangan dan pemerintah parlementer akhirnya meledak dengan terjadinya Peristiwa 3 Juli 1946. Kelompok ini bubar dan tokoh-tokoh utamanya ditangkap dengan tuduhan berupaya melemahkan pemerintah.
Berikut adalah kronologisnya peristiwa 3 Juli 1946*:
  • Pada tanggal 5 Januari 1946 terbentuklah Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 organisasi politik, lasykar, dll termasuk partai politik seperti Masyumi dan PNI. Dalam pembentukannya di Purwokerto, Tan Malaka menyampaikan pidato tentang pentingnya persatuan untuk mencapai kemerdekaan penuh yang kemudian menjadi prioritas utama dalam gerakan tersebut (“Berunding atas Pengakuan Kemerdekaan 100 persen”). Dalam Persatuan Perjuangan antara lain duduk sebagai anggota sub-komite, yaitu Jendral Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
  • Pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan seperti Tan Malaka, Mr. Achmad Subardjo,  Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan Sukarni ditangkap dengan tuduhan bahwa kelompok ini berencana akan menculik anggota-anggota kabinet Sjahrir II. Kemudian seorang perwira bernama Abdul Kadir Jusuf dengan sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal Sudarsono (Panglima Divisi Yogyakarta) menculik Perdana Menteri Sjahrir beserta beberapa negarawan lainnya seperti Menteri Kesehatan Dr. Darma Setiawan, Mayor Jenderal Soedibjo, dll Pada tanggal 27 Juni 1946 di Solo (Koran Pelita Rakyat 8 Maret 1948) karena dianggap telah mengkhianati revolusi melalui perundingan dengan Belanda yang akan merugikan pihak Indonesia. Konflik antara kelompok Sjahrir dan kubu Tan Malaka semakin meruncing.
  • Pada tanggal 28 Juni 1946, Presiden Soekarno menyatakan keadaan bahaya di Indonesia. Keesokan harinya, seluruh kekuasaan pemerintahan diserahkan kembali kepada Presiden Republik Indonesia. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa akhirnya berhasil, karena beberapa hari setelah itu seluruh korban penculikan dibebaskan kembali.
  • Pada tanggal 2 Juli 1946, Mayor Jenderal Soedarsono berikut M. Yamin ikut membebaskan 14 tahanan politik di penjara Wirogunan, Yogyakarta, antara lain Mr. Achmad Subardjo, Mr. Iwa Kusuma Soemantri dan Adam Malik yang telah ditangkap sebelumnya pada tanggal 17 Maret 1946 dan membawanya ke markas resimen Wiyoro.. Di tempat inilah mereka menyusun suatu maklumat politik yang isinya seolah-olah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka (Tan Malaka sendiri itu waktu itu dipenjara Tawang Mangu dan tampaknya usaha ini tanpa sepengetahuannya).
  • Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya, Mr. Achmad Subardjo, Mr. Iwa Koesoema Soemantri dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden, yang menuntut agar:
  1. Presiden memberhentikan seluruh Menteri dalam kabinet Sjahrir dan Amir Syarifuddin;
  2. Presiden menyerahkan kekuasaanya di bidang militer kepada Panglima Besar Angkatan Perang, serta di bidang politik, ekonomi dan sosial kepada Dewan Pimpinan Politik yang anggota-anggota nya akan diumumkan;
  3. Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat;
  4. Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Soekarno menolak dengan tegas maklumat tersebut dan segera memerintahkan penangkapan kepada para pengantar maklumat berikut komplotannya. Sedangkan M.Yamin, Mayor Jenderal Soedarsono, dan Mr. Achmad Subardjo sempat melarikan diri ke luar Jakarta, namun pada tanggal 7 Juli 1946 dapat ditangkap oleh aparat. (Harian Soeloeh Ra’jat 8 Juli 1946)

PUTUSAN MAHKAMAH TENTARA AGUNG
Peristiwa ini menjerat tujuh belas orang (Harian Merdeka Soeara Rakjat Repoeblik Indonesia 20 Pebruari 1948) yang diduga terlibat dalam upaya kudeta terhadap pemerintahan Indonesia dan diajukan ke Mahkamah Tentara Agung (MTA) yang berujung kepada penjatuhan pidana pada tanggal 27 Mei 1948. Sebanyak tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, Mr. Achmad Subardjo mendapat hukuman 3 tahun sedangkan Mayor Jenderal Soedarsono dan M.Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara. Di kesempatan Dirgahayu RI pada  tanggal 17 Agustus 1948, seluruh tahanan Peristiwa 3 Juli 1946 dibebaskan melalui pemberian grasi oleh presiden.
Pihak-pihak yang terlibat
Setelah melihat kepada kasus Peristiwa 3 Juli 1946 dikaitkan dengan Undang-undang No.20 Tahun 1946 yang diundangkan pada tanggal 1 November 1946 (Berita Repoeblik Indonesia) Tentang Hukuman Tutupan, penulis dapat menganalisa sebagai berikut:
Pelaku utama:
·        Mayor Jenderal Soedarsono
·        M.Yamin
·        Mr. Achmad Subardjo
Bagi kedua pelaku (Mayor Jenderal Soedarsono dan M.Yamin) dapat dikenakan hukuman pidana maksimal seumur hidup atau pidana penjara sementara selama 20 tahun jika kita menafsirkan secara otentik yang didasari ketentuan KUH Pidana Pasal 107, 110, 88bis tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan Pasal 223 tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum.
Kedua pelaku tersebut dapat dituntut dengan pasal berlapis karena telah memenuhi unsur-unsur material sebagaimana telah dirumuskan dalam KUH Pidana, diawali dengan tindakan pemufakatan jahat untuk melangsungkan makar oleh pelaku beserta kawan-kawannya dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan menculik pejabat yang sedang berkuasa ditambah dengan tindakan Mayor Jenderal Soedarsono yang sengaja melepaskan orang yang ditahan atas perintah penguasa umum.
Lalu mengapa Mahkamah Tentara Agung (MTA) menjatuhkan putusan pidana tutupan (yang relatif jauh lebih ringan) terhadap pelaku seperti Mayor Jenderal Soedarsono, M.Yamin, dan Mr. Achmad Subardjo ketimbang tuntutan awal yang dapat dijatuhkan sesuai dengan ketentuan dari Pasal KUH Pidana?
Walaupun demikian adanya putusan tersebut, penulis dalam hal ini tidak dapat menemukan dari berbagai sumber tentang  pernyataan kata “pidana tutupan” sebagai putusan dari Mahkamah Tentara Agung (MTA) kepada pelaku. (Koran Pelita Rakyat, 28 Mei 1948)
Telah dikemukakan di awal Bab I, jika dalam pembahasan ini terdapat korelasi antara Peristiwa 3 Juli 1946 dengan penjatuhan tutupan sebagaimana telah termuat dan diatur dalam UU No. 20 Tahun 1946 yang juga termasuk kedalam pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, dan denda) diatur didalam pasal 10 KUH Pidana serta Pasal 6a pada KUH Pidana Tentara, tentang Hukuman Tutupan.
Menurut Pasal 2 UU No.2 Tahun 1946
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
Kalimat “karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati” disini tidaklah jelas dan dapat terjadi perbedaan penafsiran yang tentunya dapat menjurus kepada penafsiran analogis yang mana penafsiran tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan, juga dapat menyebabkan perbedaan pendapat antara hakim yang satu dengan yang lain mengenai arti dari kalimat tersebut. Dikhawatirkan kalimat dalam pasal ini disalahgunakan oleh pelaku-pelaku tindak pidana yang ingin lepas dari jerat hukuman.
Dalam kasus ini penjatuhan pidana tutupan oleh Mahkamah Tentara Agung (MTA) kepada pelaku Peristiwa 3 Juli 1946 didasari oleh “maksud yang patut dihormati” dalam artian pelaku merencanakan tindakan makar untuk menggulingkan pemerintahan didasari oleh rasa Nasionalisme yang tinggi. Walaupun secara eksplisit tindakan dari pelaku telah menyalahi peraturan yang sudah pasti tertuang dalam pasal-pasal KUH Pidana, namun masih terdapat perkecualian yang didasari oleh asas “lex specialis derogat legi generali” hukum yang berlaku khusus mengesampingkan hukum yang berlaku umum, dalam hal ini pengaturan pidana tutupan telah diatur dalam Undang-undang No.2 Tahun 1946
Tentang Pelaksanaan Pidana Tutupan
Menurut Undang-undang No.2 Tahun 1946
Pasal 3
(1) Barang siapa dihukum dengan hukuman tutupan, wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan berdasarkan pasal 5.
Pasal 5
(1) Tempat untuk menjalani hukuman tutupan cara melakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.
(2) Peraturan tata-usaha atau tata-tertib guna menjalankan hukuman tutupan diatur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.
Sampai saat ini tidak ada Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat untuk mengatur lebih lanjut tentang Pelaksanaan Pidana Tutupan ini. Sungguh sangat disayangkan setelah lebih dari 60 tahun tidak ada perombakan/penambahan mengenai pelaksanaan dari Undang-undang Pidana Tutupan ini. Quo vadis UU No.20 Tahun 1946.

SARAN DAN PENDAPAT
Sebaiknya Undang-undang No.20 Tahun 1946 digantikan dengan produk undang-undang baru yang sejenis dalam hal pengaturan Pidana Tutupan, tentunya dibuat dengan lebih jelas baik itu secara aspek gramatikal maupun secara praktikal-nya sehingga tidak akan terjadi penafsiran yang berbeda-beda, dengan demikian kepastian hukum dapat tercipta bagi pencari keadilan.
Undang-undang No.20 Tahun 1946 bila dibiarkan secara lama tentunya akan menimbulkan multi tafsir dalam bidang hukum tentunya akan menyebabkan hilangnya kepastian hukum dan akan menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukum. Definisi mengenai tindakan yang “patut dihormati” pun harus di pahami secara mendalam lagi, apakah patut dihormati hanya mengacu pada tujuan yang berupa Nasionalisme? Ataukah dalam hal lainnya? Dan apakah masih relevan tindakan Nasionalisme bila dikaitkan dengan perkembangan bangsa kekinian? Tentunya semua perdebatan itu akan terus terjadi bila tidak ada tindakan lebih lanjut terhadap Undang-undang No.20 Tahun 1946. Bahkan pidana tutupan pun hanya akan menjadi jenis pidana penghias pada jajaran jenis pidana pokok di Indonesia, karena pemakaiannya yang tidak jelas dan tidak efektif.
5 Alexander Rizki's Blog: Analisis Pidana Tutupan di Indonesia ABSTRAK Sesuai dengan Undang-undang No.20 Tahun 1946 Pasal 1, maka selain pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, dan denda) yang d...

1 comment:

  1. sumbernya tolong dicantumkan ya, makasih...scr keseluruhan udah bagus

    ReplyDelete

< >