Monday, March 21, 2011

Asas Kebebasan Berkontrak Pada Jasa Konstruksi


ABSTRAK

Dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, para pihak diikat dalam suatu kontrak kerja konstruksi yang ditandatangani kedua belah pihak dan berfungsi sebagai hukum. Permasalahan yang sering dihadapi dan belum banyak dibahas, khususnya dibidang jasa konstruksi, sehingga memunculkan 2 (dua) pertanyaan : (1) Apakah kontrak kerja konstruksi tersebut telah memenuhi syarat-sayarat sahnya suatu kontrak dan tidak adanya pelanggaran azas kebebasan berkontrak (contractvrijheid beginselen)? (2) Apakah sebelum penandatanganan kontrak kerja konstruksi telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu kontrak kerja konstruksi dan tidak terjadi penyalahgunaan keadaan ( misbruik van omstandigheden ) ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, selain menggunakan sumber-sumber literatur, juga akan dipadukan dengan pengalaman lapangan sehingga diharapkan akan dapat dihimpun masukan terhadap penyiapan sebuah kontrak kerja jasa konstruksi mulai dari konsep kontrak, sebelum kontrak ditandatangani, dilaksanakan, maupun akibat hukum yang terjadi manakala kontrak kerja jasa konstruksi tersebut diingkari ( wanprestasi ) atau terjadi sengketa.


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam melaksanakan pekerjaan profesi, seorang profesional teknik, sering dihadapkan pada kenyataan bahwa kontrak kerja jasa konstruksi yang ditandatangani mereka cukup membuat repot dan pada akhirnya merupakan “pekerjaan tambahan” yang kadangkala dapat menjebak profesional tersebut pada tuntutan hukum. Hal ini dapat dipahami, karena umumnya para profesional teknik tersebut belum banyak yang memiliki pengetahuan ilmu hukum yang cukup. Saat sekarang ini profesional teknik sudah saatnya perlu mempelajari ilmu hukum, karena sepanjang pekerjaan yang mereka lakukan tersebut manakala sudah diikat dengan sebuah kontrak kerja, maka hukumlah yang berlaku terhadapnya. Selain itu, manakala profesional teknik tersebut dalam perencanaan dan perancangan misalnya, bila diaplikasikan pada suatu lokasi, selalu akan berbenturan dengan hukum misalnya hukum pertanahan/agraria, hukum yang berkaitan status kepemilikan tanah, hukum waris, Peraturan Daerah (Perda) Setempat, dan sebagainya.


1.2. Permasalahan
Kebutuhan akan pengetahuan ilmu hukum bagi para profesional teknik amat diperlukan dalam menunjang pekerjaan profesi masing-masing, di samping karena kebutuhan tuntutan, juga untuk mengantisipasi kemungkinan resiko hukum yang terjadi mengingat semakin globalnya pengetahuan dan permasalahan dalam masyarakat.
Sejak 1 Januari 1992, mulai diberlakukannya aliran Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW – KUH Perdatanya Belanda) yang dalam praktek peradilan di Indonesia pun sudah menerapkan aliran ini, walaupun masih sangat terbatas, turut mendorong kita untuk mempelajari ilmu hukum sebagai kelengkapan pengetahuan profesi teknik.
Ciri masyarakat modern antara lain adalah kecenderungan terhadap pelayanan jasa secara praktis, cepat, efisien dan efektif. Untuk mewujudkan hal ini, pelayanan kontrak yang sifatnya standar (baku) atau standaarcontract telah dilakukan beberapa pelaku bisnis jasa konstruksi. Sebagai contoh pada proyek pemerintah, sekitar tahun 1980-an hingga 1990 an, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya Daerah Provinsi Dati I Jawa Timur, menerbitkan standar kontrak di lingkungan pekerjaan keciptakaryaan yang isinya cukup lengkap yang kini cenderung banyak yang diubah dan dikurangi oleh instansi di bawahnya sehingga justru menjadi tidak jelas, sebagai akibat otonomi daerah dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Penerbitan standar kontrak sebenarnya merupakan upaya pelayanan praktis, cepat, efisien dan efektif dan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Pihak pemerintah (pengguna jasa) berusaha dengan asas kebebasan berkontrak itu telah menawarkan (aanbod) bentuk atau model kontrak standar untuk diterima atas penawaran (akseptasi) oleh penyedia jasa (konsultan dan kontraktor). Namun pada kenyataannya masyarakat jasa konstruksi tidak bisa berbuat lain kecuali menerima model kontrak standar tersebut, karena memang pada dasarnya masyarakat jasa konstruksi tidak memiliki pengetahuan ilmu hukum selain masalah masalah kepraktisan di atas, sebagaimana asas kebebasan berkontrak dalam penerbitan standar kontrak. Dengan cara ini sebenarnya telah terjadi pelanggaran terhadap asas kesepakatan karena standar kontrak dibuat sepihak, dan pihak lainnya hanya tinggal menandatangani tanpa harus membaca, mempelajari atau merubah isi kontrak tersebut apabila ada bagian-bagian dalam isi kontrak standar tersebut yang belum disepakati. Selain asas kesepakatan, telah terjadi penyalahgunaan keadaan oleh pengguna jasa atas ketidaktahuan atau ketidakmengertian penyedia jasa terhadap pengetahuan ilmu hukum serta memanfaatkan masalah-masalah kepraktisan sebagai alasan untuk menerbitkan kontrak standar.

2. PEMBAHASAN
2.1. Kontrak
Kontrak pada dasarnya merupakan undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum bagi para pihak. Oleh karenanya pembahasan berikutnya lebih tepat dengan istilah hukum kontrak (Michael D. Bayles, 1987 dan Lawrence M. Friedman, 2001).
Dalam bahasa Inggris, hukum kontrak merupakan terjemahan dari contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda adalah overeenscomstrecht. Friedman (2001) mengartikan hukum kontrak sebagai :

“ Perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu”

Friedman selanjutnya tidak menjelaskan aspek tertentu dan jenis perjanjian tertentu itu. Namun bila kita kaji aspek pasar, pikiran kita akan mengarah pada segala aktivitas bisnis yang hidup dan berkembang dalam sebuah market termasuk dunia industri jasa konstruksi yang dilakukan oleh para pelaku usaha masing-masing, serta menimbulkan berbagai macam kontrak.
Disisi lain, Bayles (1987), mengartikan bahwa hukum kontrak adalah aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.
Beberapa definisi hukum kontrak yang lain, umumnya tidak membahas tahapan kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Ensiklopedi Indonesia (dalam Salim, H.S., 2003) mengkajinya dari aspek lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum, sebagaimana yang ertuang dalam Pasal 1348 KUH Perdata. Tampaknya definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan persetujuan, padahal keduanya berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan merupakan salah satu syarat sahnya kontrak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Adalah lebih tepat apabila kita mendasarkan pada pendapat Van Dunne (1990), seorang ahli hukum perdata Belanda, yang tidak hanya mengkaji dari sisi kontraktual belaka, akan tetapi juga memperhatikan tahapan-tahapan sebelumnya. Yang dimaksud dengan tahapan-tahapan sebelumnya adalah tahap precontractual yang merupakan tahap penawaran dan penerimaan dan postcontractual yang merupakan pelaksanaan perjanjian. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Hak berupa kenikmatan, sedangkan kewajiban berupa beban.
Dari pendapat dan definisi hukum kontrak di atas, maka definisi hukum kontrak adalah sebagai berikut :

“ Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum “

Dengan demikian, maka unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak adalah sebagai berikut :
1. Adanya Kaidah Hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dibagi menjadi 2 (dua) bagian : tertulis dan tidak tertulis. Kontrak hukum kontrak tertulis adalah kontrak kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam mesyarakat (konsep yang berasal dari hukum adat).

2. Adanya Subjek Hukum
Subjek hukum dalam istilah lain adalah rechtsperson, yang diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya Prestasi ( Objek Hukum )
Prestasi merupakan hak kreditur dan menjadi kewajiban bagi debitur. Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri dari 4 (empat) hal :
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu

4. Kata Sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian. Salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5. Akibat Hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.

2.2. Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)
Asas-asas perjanjian sangat perlu untuk dikaji lebih dahulu sebelum memahami berbagai ketentuan undang-undang mengenai sahnya suatu perjanjian. Suatu perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang bersangkutan.
Banyak pendapat ahli-ahli hukum tentang asas-asas dalam suatu perjanjian, namun pada dasarnya bertujuan untuk tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan keadilan berdasarkan asas konsensualisme (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian). Tabel 1 berikut adalah pendapat para ahli hukum tentang asas-asas suatu perjanjian.

Tabel 1. Pendapat Para Ahli Hukum tentang Asas Perjanjian
No
Nama Ahli Hukum
J.H. Nieuwhuis
Mariam Darus B
Sudikno Mertokusumo
1
-Asas Otonomi (adanya Kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih diantara mereka) atau asas kemauan yang bebas.
-Asas Kepercayaan
-Asas Persamaan
Hukum
-Asas Keseimbangan
-Asas Kepastian
Hukum
-Asas Moral
-Asas Kepatutan
-Asas Kebiasaan
-Asas Perlindungan
(Protection)
-Asas Konsensualisme (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian)
2
-Asas Kepercayaan (adanya kepercayaan yang ditimbulkan dalam perjanjian itu yang perlu dilindungi) atau asas melindungi pihak beritikat baik.
-Asas Kekuatan Mengikatnya suatu Perjanjian (berhubungan dengan akibat suatu perjanjian)
3
-Asas Kausa (adanya saling ketergantungan dalam suatu cara dan tujuan sehubungan dengan adanya perikatan yang timbul karena perjanjian)
-Asas Kebebasan Berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian)
Sumber : Panggabean, H.P (2001) dan Lokakarya Hukum Perikatan Depkeh (1985)

Dari penjelasan tersebut, maka terdapat 5 (lima) asas penting dalam suatu perjanjian, yaitu :
1. Asas Kebebasan Berkontrak, sebagaimana hasil analisis Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
a. membuat atau tidak membuat perjanjian
b. mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. menentukan isi perjanjian dengan siapapun
d. menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

2. Asas Konsensualisme, sebagaimana dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Disini kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

3. Asas Pacta Sunt Servanda, merupakan asas kepastian hukum sebagai akibat perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang” Selain itu pada asas ini juga dikatakan bahwa pihak lain (hakim atau pihak ketiga) harus menghormati dan tidak boleh mengintervensi substansi kontrak yang dibuat para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.

4. Asas Itikat Baik (Goede Trouw) Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik ini merupakan asas para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikat baik ini dibagi 2 (dua) : itikat baik nisbi, dimana orang memperhatikan tingkah laku nyata orang atau subjek. Sedangkan itikat baik mutlak, penilaiannnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dan penilaian keadaan yang dibuat dengan ukuran objektif (penilaian yang tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

5. Asas Kepribadian (Personalitas) Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, sebagaimana dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi : “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”, dan Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Namun ketentuan ini ada pengecualiannya sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan : “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.
Jika dibandingkan dengan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan : (a) diri sendiri, (b) ahli warisnya, dan (c) orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Selain itu Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata tentang ruang lingkupnya yang luas. Disamping itu menurut Mariam D.B.(1997) terdapat rumusan 8 (delapan) asas hukum perikatan nasional, yaitu : (a) asas kepercayaan, (b) asas persamaan hukum, (c) asas keseimbangan, (d) asas kepastian hukum, (e) asas moral, (f) asas kepatutan, (g) asas kebiasaan, (h) asas perlindungan.
Dari semua penjelasan tentang asas-asas perjanjian, maka asas-asas yang ada saling melengkapi dan dijadikan dasar pijakan para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.

2.3. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden)
Sebelum aliran Penyalahgunaan Keadaan dicantumkan dalam NBW dan diberlakukan 1 Januari 1992 yang lalu, telah banyak permasalahan yang dibahas para ahli hukum dan ilmuwan lainnya, khususnya dalam kaitannya dengan pemutusan perkara oleh para hakim.
Terbentuknya aliran Penyalahgunaan Keadaan disebabkan karena pada waktu itu belum ada ketentuan Burgerlijk Wetboek Belanda yang mengatur hal itu. Sebagai contoh, sering terjadi seorang hakim sering menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan, sehingga sering pula mengakibatkan putusan hakim yang membatalkan suatu perjanjian, baik sebagian atau keseluruhan. Dalam kenyataannya putusan hakim tersebut tidaklah berdasarkan pertimbangan salah satu alasan pembatalan perjanjian yaitu cacat kehendak klasik (Pasal 1321 KUH Perdata), yaitu : (1) kesesatan (dwaling), (2) paksaan (dwang), (3) penipuan (berdog).
Prof. Mr. J.M. van Dunné dan Prof. Mr. Gr. Van den Burght (1987) dalam sebuah Diktat Kursus Hukum Perikatan Bagian III yang diterjemahkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., menanggapi beberapa pendapat para ahli hukum menyatakan bahwa :
“ Pada Penyalahgunaan Keadaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa cacat”

 Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan keadaan lebih tepat mempengaruhi syarat-syarat subjektif dari pada syarat objektif. Sebagaimana diketahui bahwa menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat :
1). Harus ada kesepakatan
2). Harus ada kecakapan
3). Harus ada pokok persoalan (hal tertentu)
4). Tidak merupakan sebab yang dilarang
Dua syarat pertama merupakan syarat subjektif karena menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian, sedang dua syarat terakhir merupakan syarat objektif.
Lebih lanjut Van Dunné menjelaskan bahwa selain 2 (dua) syarat subjektif tersebut di atas, penyalahgunaan keadaan juga dikarenakan 2 (dua) hal :
1. Karena keunggulan ekonomi, yang menyebabkan salah satu pihak terpaksa mengadakan perjanjian.
2. Karena keunggulan kejiwaan, salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif (seperti hubungan kepercayaan : orang tua – anak, suami – istri, dokter – pasien, termasuk antara pengguna jasa / pimpinan proyek / bagian proyek / user – penyedia jasa / konsultan / kontraktor, dan sebagainya ). Disamping salah satu pihak menggunakan penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan (gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang kurang baik, dan sebagainya). Penekanan terhadap Asas Kebebasan Berkontrak semata-mata karena menyangkut isi perjanjian (Mertokusumo, 1988) dan Penyalahgunaan Keadaan (Panggabean, H.P., 2001), kesemuanya ditekankan pada tahap precontractual yang menjadi pokok bahasan tulisan ini. Sedangkan pembahasan yang menyangkut perbedaan isi perjanjian yang berakibat hukum, akan dibahas sepintas sebagai bagian dari tahapan kontrak yang kedua, yaitu postcontractual.

2.4. Kontrak Kerja Jasa Konstruksi
 (pasal 14 s.d Pasal 22 UU Nomor 18 Tahun 1999 jo Pasal 20 s.d Pasal 23 PP Nomor 29 Tahun 2000 jo Pasal 29 s.d Pasal 35 Keppres Nomor 80 Tahun 2003).
Pada dasarnya penyusunan kontrak jasa konstruksi mengikuti aturan atau ketentuan sahnya sebuah kontrak kerja sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata kita. Akan tetapi sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu pada tahapan precontractual memunculkan 2 (dua) pertanyan :
(a) Apakah sudah mengikuti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata diantara para pihak tentang isi kontrak, sebelum kontrak tersebut ditandatangani sebagaimana asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUH Perdata) dan diterapkan secara adil dan seimbang, termasuk itikat baik para pihak. Padahal yang penting apakah pada saat perjanjian tersebut ditutup, apakah perjanjian itu telah dibuat dan dilaksanakan secara adil.
Dalam proses ini antara para pihak (pengguna jasa dan penyedia jasa) harus ada kecocokan pernyataan kehendak yang dikaitkan penyesuaian dan syarat-syarat perjanjian yang bersangkutan, sehingga kata sepakat (toestemming) terjadi. Dua elemen yang mendasari kata sepakat adalah penawaran (aanbod) dan penerimaan atas penawaran (akseptasi). Dengan adanya penyesuaian diantara dua kehendak tersebut, perjanjian abligator atau verbintenissen scheppende overeenkomst (perjanjian yang melahirkan perikatan) telah terjadi, dan karena itu terjadi pula perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
(b) Apakah tidak terjadi Penyalahgunaan Keadaan sebelum kontrak ditandatangani, yaitu cacat kehendak (wilsgebrek) sebagai awal dari penyalahgunaan keadaan. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata cacat kehendak merupakan persyarat subjektif pertama yang tidak dipenuhi, termasuk syarat subjektif kedua yaitu kecakapan. Selanjutnya Pasal 1321 KUH Perdata merinci cacat kehendak tersebut menjadi :
1. Kesesatan (dwalling) : sesat terhadap hakikat benda (error in substantia) dan sesat terhadap orang (error in persona). Jadi antara yang dinyatakan dengan yang dikehendaki terjadi perbedaan persepsi (Pasal 1322 KUH Perdata).
2. Penipuan (berdog) yaitu perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain dengan maksud untuk menimbulkan kesesatan pihak lain. Contoh : pujian yang berlebihan terhadap hasil pekerjaan konstruksi (Pasal 1328 KUH Perdata)
3. Paksaan (dwang) yaitu ancaman yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain sehingga menimbulkan rasa takut atas kerugian harta bendanya, juga apabila ancaman tersebut ditujukan pada fisik dan atau kehormatan serta kemerdekaan. Bilamana kita bandingkan antara Asas Kebebasan Berkontrak dalam KUH Perdata kita dengan Penyalahgunaan Keadaan dalam NBW (KUH Perdatanya Belanda) yang sudah diterapkan oleh para hakim di Indonesia, maka akan terdapat hubungan diantaranya yaitu antara lain Penyalahgunaan Keadaan karena Keunggulan ekonomi dan keunggulan kejiwaan :  
(a) Salah satu pihak memiliki keunggulan ekonomi dari pihak lain ( contoh : Pemilik Proyek/Pimpro/Pimbapro sebagai Pengguna Jasa yang punya uang, sedangkan Penyedia Jasa yang berkepentingan dan ingin mendapatkan pekerjaan/proyek Pengguna Jasa).
(b) Penyalahgunaan Keadaan karena keunggulan kejiwaan, yang mengakibatkan keterpaksaan pihak lain untuk mengadakan perjanjian. Disini terjadi ketergantungan relatif. Contoh : Pihak Pengguna Jasa masih ada hubungan kekerabatan, guru-murid, atasan-bawahan, pertemanan, dan sebagainya dengan Pihak Penyedia Jasa, termasuk Pengguna jasa juga pemilik proyek. Contoh lain adalah, misalnya penyedia jasa tidak berpengalaman, tidak tahu/mengerti, kurang pengetahuan sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu pihak lain.
Kedua permasalahan pada precontractual tersebut sudah dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur subjek dan objek yang tidak memenuhi persyaratan kontrak kerja, sehingga perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar) dan batal demi hukum (nietig)

3. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan perjanjian jasa konstruksi khususnya pada tahapan precontractual, masing-masing pihak (pengguna dan penyedia jasa konstruksi) harus mengadakan kesepakatan dengan menghindari pelanggaran terhadap ketentuan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagaimana ketentuan yang berlaku.
2. Sanksi bagi pengguna jasa dan penyedia jasa dapat dikenai sanksi administratif, sanksi perdata, maupun sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran sesuai ketentuan UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 29 Tahun 2000
3.2. Saran
1. Walaupun sudah disosialisasi dan diberlakukan, UU Nomor 18 Tahun 1999, PP Nomor 28, 29, 30 serta peraturan perundang-undangan lainnya masih belum banyak yang mengetahui khususnya masyarakat jasa konstruksi sendiri. Untuk itu perlu kesungguhan baik Pemerintah, Asosiasi Profesi, Profesional Perorangan, Pakar dan Perguruan Tinggi dan pihak-pihak yang terkait bekerja sama untuk meningkatkan intensitas pemahaman peraturan perundang-undang ini, sehingga dicapai peningkatana kualitas SDM yang profesional.
2. Untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, perlu diterapkan sanksi yang tegas dalam action karena dalam proyek konstruksi banyak dijumpai peluang pelanggaran mulai dari precontrancual dan postcontractual hingga pelaksanaan fisik pekerjaan konstruksi.
5 Alexander Rizki's Blog: Asas Kebebasan Berkontrak Pada Jasa Konstruksi ABSTRAK Dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi, para pihak diikat dalam suatu kontrak kerja konstruksi yang ditandatangani kedua belah ...

No comments:

Post a Comment

< >