Monday, March 21, 2011

Analisis Tragedi Cikeusik, Ahmadiyah Dalam sudut pandang Hukum dan HAM


Latar Belakang


                Tragedi yang terjadi di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten merupakan tragedi yang terjadi berkaitan dengan permasalahan hak manusia yang paling dasar, yaitu hak asasi manusia. Tragedi yang terjadi di Cikeusik berkaitan dengan masalah agama, yang merupakan hak yang paling dasar bagi setiap individu manusia, oleh karena itu masalah agama merupakan masalah yang sensitif yang akan gampang menyulut emosi para pihak yang terkait di dalamnya, dan emosi tersebut berbuntutlah pada sebuah tragedi yang sekarang kita kenal dengan tragedi Cikeusik.
            Ahmadiyah adalah sebuah nama yang tidak bisa lepas dari tragedi yang terjadi di Cikeusik. Permasalahan Ahmadiyah merupakan permasalahan yang tidak mudah begitu saja kita lepaskan dari konflik horisontal di Indonesia, bahkan di beberapa negara di belahan dunia lainnya. Sebelum tragedi Cikeusik terjadi, sudah banyak tragedi-tragedi keagamaan lainnya yang menyangkut Ahmadiyah, sebut saja di Parung, Lombok Barat, Makassar dan di beberapa tempat lainnya, lantas pertanyaan kita, apa yang salah dengan Ahmadiyah? Lalu apa yang mengidentikkan Ahmadiyah dengan berbagai kekerasan berbasis agama lainnya yang terjadi di Indonesia?


Permasalahan

            Tragedi Ahmadiyah di Cikeusik terjadi pada Minggu (6/2/2011), dimana kronologis tragedi tersebut terdapat banyak versi. Terdapat beberapa pihak  yang menggambarkan rentetan kejadian konflik tersebut, ada dari sudut pandang yang menyudutkan warga penyerang, ada pula sebaliknya yang menyudutkan pihak Ahmadiyah. Namun kita harus tetap bisa melihat rentetan kejadian tersebut secara holistik dan kritis.
Salahsatu pihak yang menggambarkan kronologis kejadian tersebut adalah MUI, karena MUI sebagai badan yang cukup memiliki andil dalam melihat konflik ini. Koronologis ini disampaikan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, berdasarkan keterangan Sekjen MUI Banten pada dirinya. Menurut Amidhan, peristiwa itu bermula saat masyarakat Cikeusik meminta kelompok Ahmadiyah di sana untuk keluar, karena sudah meresahkan. Permintaan ini juga dilaksanakan dengan baik-baik. Tapi, kelompok Ahmadiyah tetap tidak mau keluar. Malam harinya, lanjut Amidhan, ada gelagat gesekan. Namun, hal itu diketahui oleh kepolisian sekitar. Tidak ingin ada kerusuhan, polisi membawa kelompok Ahamadiyah yang jumlahnya hanya satu keluarga itu ke Mapolsek Pandeglang untuk diamankan.
Tapi tiba-tiba, datanglah dua mobil yang berisi sekiatar 18 orang ke kampung itu. Yang mengaku dari Jakarta dan Bogor. Mereka katanya mau melindungi warga Ahmadiyah itu. Tapi mereka datang dengan membawa senjata tajam seperti celurit dan golok,” kata Amidhan.[1]
Saat diminta agar mereka pulang, lanjut Amidhan, kelompok ini malah menantang dan sesumbar akan mempertahankan Ahmadiyah sampai titik darah penghabisan. Karena marasa ditantang, warga sekitarpun akhirnya berdatangan dan terjadilah bentrokan. Jadi, masih kata Amidhan, peristiwa ini terjadi karena provokasi. Kalau 18 orang itu tidak datang, kejadian ini tidak akan terjadi. Sebab, warga juga memintanya dengan baik-baik. Tapi karena ditantang, orang Banten merasa geram. Yang bermula dari masalah keyakinan, bergeser ke masalah tantangan.[2] Kemudian terjadilah konflik tersebut dan menghasilkan 3 orang anggota Ahmadiyah tewas dan 5 orang lainnya luka-luka.[3]

Identifikasi Masalah

Memang sebenarnya apa yang meyebabkan Ahmadiyah selalu bentrok dengan wilayah sekitarnya di Indonesia? Lantas apa pula yang salah dengan Ahmadiyah? Kemana negara saat konflik ini terjadi, dan apakah negara hanya sebagai penonton saja? Bagaimana tinjauan tragedi ini dalam aspek hukum dan HAM? Semuanya akan dipaparkan lebih jauh dalam bab analisis.yah selalu bentrok dengan wilayah sekitarnya di Indonesia? lantas ang cukum memiliki andil

Analisis
Latar belakang Ahmadiyah
            Ahmadiyah merupakan sekte atau gerakan sempalan dalam Islam yang menggeliat di awal abad 20, tepatnya pada 1889, di mana lahir Jemaat Muslim Ahmadiyah. Akarnya adalah sebagian keyakinan bahwa akhir zaman telah tiba, dan pembawa gerakan ini Mirza Ghulam Ahmad merupakan orang yang terpilih sebagai Messiah atau dalam keyakinan Islam disebut sebagai Al-Mahdi yang akan menuntun umat manusia kepada Islam sebenarnya.
Ajaran yang mengambil Islam Sunni sebagai rujukan ini berkembang di Inggris, tentu saja berkat kebijakan kolonialis Inggris di tanah Hindustan, yang tidak begitu mencampuri urusan Agama dan keyakinan. Faktanya, pada masa itu, umat Islam di tanah Hindustan lebih memperhatikan bagaimana hubungan antara kaum Muslim dan Hindu, setelah kerajaan Mughal sebagai kerajaan Islam terakhir di India jatuh di bawah kaki Inggris.
Pada babakan berikutnya, jamaah Ahmadiyah terbagi dalam dua kepemimpinan. Yakni Jamaah Ahmadiyah di Qodyan, dan Jamaah Ahmadiyah di Lahore. Secara prinsip tidak ada perbedaan mendasar dari keduanya. Namun yang lebih prinsipil,  jemaah Lahore tidak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, melainkan sebagai pembaharu saja.
Faktor lain yang menumbuh kembangkankan gerakan Ahmadiyah adalah jatuhnya kekhalifahan Usmaniyah. Kemudian, diikuti dengan dikuasainya Ka’bah di Mekkah oleh keluarga Saud yang menginduk gerakan Islam Wahabbi.
Selain itu, terdapat gerakan pembaharuan pan-Islamisme yang dibawakan oleh Jamaludin Al Afghani menegaskan bahwa Islam tidak harus berbentuk Kekhalifahan, sehingga muslim di dunia berhak membangun negara atau bangsanya sendiri. Maka di penjuru bumi muncullah gerakan Islam serupa yang membawa jenis pemimpin rohani yang bermacam-macam bentuknya, dari Salafi, Mujadidi, Tarikat, Sufi, dsb.
Situasi umat Islam sangat tidak jelas. Harus menginduk ke mana? Harus mengacu kepada siapa? Karena itulah ketika Mirja Ghulam Ahmad mengakui bahwa dirinya adalah salah seorang pembaharu Islam, hal ini sangat menarik bagi umat muslim Hindustan yang membutuhkan kepastian kepemimpinan rohani.
Ajaran Mirza Ghulam Ahmad mendapat tempat, karena memang situasi umat Islam pasca runtuhnya kekhalifahan terakhir begitu menderita di tengah kolonialisme barat. Bagi umat Islam pengikut Mirza Ghulam Ahmad, kondisi dunia seolah mendekati kiamat. Maka tidak heran ajaran Ahmadiyah tumbuh pesat. Saat ini di Pakistan saja pengikutnya berjumlah 4 juta Jiwa. Dan secara keseluruhan di dunia jumlah pengikutnya mencapai 150 juta orang.
Sisi kontroversial dari keyakinan yang dibawa oleh pembaharuan gerakan Ahmadiyah adalah status dari Mirza Ghulam Ahmad sendiri. Dirinya mengakui mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian. Padahal Islam menolak Nabi dan Rasul lain setelah Muhammad SAW.
Selain itu, terdapat beberapa perbedaan mencolok dari keyakinan Islam secara umum, yang berkaitan dengan masalah nubuwat mengenai kiamat, dan beberapa permasalahan dasar Aqidah, yang bagi umat Islam sudah final tidak bisa diutak-atik lagi.
Bersamaan dengan kontroversi itu. Adalah rentetan kekerasan atas nama Agama di seluruh penjuru dunia. Karena bagi umat Islam mainstream, apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah merupakan penodaan terhadap kesucian Islam. Tidak heran umat Islam mengabaikan sumbangsih yang telah diberikan oleh pengikut Ahmadiyah, dan menyebutnya sebagai sumbangsih dari nonmuslim.  
Saat Ini memasuki tahun-tahun awal millenium, ajaran mengenai hari akhir masih laku dijual. Bahkan, film tentang kiamat dengan spesial efek yang hebat: 2012 dikerumuni antrean penonton. Ini bisa dikategorikan bahwa ajaran Ahmadiyah masih bisa bertahan hidup dan semakin banyak pengikutnya. Walaupun, tidak semua kalangan mengindikasikannya demikian.
Ajaran Ahmadiyah ini ditolak di banyak negara Muslim, termasuk di Indonesia. Tetapi, dengan lindungan kebebasan dan humanisme yang modern, aksi menghalangi peribadatan Ahmadiyah, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.


Ahmadiyah dari waktu ke waktu

Periode 1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode yang penuh kepahitan bagi Ahmadiyah. Para pemberontak DI/TII, membantai beberapa orang Ahmadiyah di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Pada tahun 1953, pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik Indonesia. Organisasi ini berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953). Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun 1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan dekat dengan orang-orang Ahmadiyah.
Sebagaimana upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia juga terang-terangan tak menyukai Ahmadiyah. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh maupun dalam bidang tarbiyat. Tahun 1974, MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah.
Halangan dan rintangan tersebut oleh kaum Ahmadiyah dimaknai sebagai penggenapan nubuwatan Nabi Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati Rasulullah s.a.w. di akhir zaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al Jumu’ah: 3-4.
Periode 1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para ulama. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Selanjutnya MUI menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.
Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA).
Tahun 1999 saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden keempat Republik Indonesia, Ahmadiyah seperti mendapat bapak asuh yang melindungi mereka. Secara terbuka Gu Dur, pangilan akrab Abdurrahman Wahid siap membela kaum Ahmadiyah dari "serangan" umat Islam yang tak sepakat dengan ajaran Ahmadiyah.
Tahun 2000 warga Ahmadiyah berhasil menggapai mimpi lamanya untuk mendatangkan pimpinan Ahmadiyah internasional yag berkedudukan di London, Inggris, ke Indonesia. Pimpinan tertinggi Ahmadiyah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu dia sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais.
Tahun 2005, MUI menegaskan kembali fatwa sesat kepada Ahmadiyah. Akibatnya, banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Penyerbuan yang menimpa warga Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Ahad (6/2) pukul 10.45 yang mengakibatkan tewasnya tiga orang warga Ahmadiyah adalah peristiwa tragis paling aktual, setelah sebelumnya basis-basis mereka di Parung, Lombok Barat, Makassar, dan tempat-tempat lainnya diobrak-abrik massa.
Sekarang di tahun 2011 ini, lebih dari seribu warga Cikeusik, Pandeglang, Banten, menyerang puluhan pengikut aliran Ahmadiyah Minggu pagi, 6 Februari. Akibatnya, tiga jemaah aliran yang dianggap menyimpang itu tewas dalam insiden di rumah Suparman, pimpinan Ahmadiyah setempat. Selain itu, delapan orang terluka parah, dua mobil (Innova dan Suzuki APV), dua motor, dan sebuah rumah di Desa Umbulan hangus dibakar massa. 
Kericuhan tersebut bermula dari keresahan warga setempat atas aktivitas jemaah Ahmadiyah yang dianggap menyebarkan ajaran sesat di wilayah tersebut. Sebab, sejak Minggu pagi, jemaah Ahmadiyah dari berbagai daerah datang dan berkumpul di rumah Suparman. Saat itu beberapa tokoh setempat secara baik-baik meminta Suparman dan pengikutnya menghentikan aktivitas mereka.
Warga memperingatkan agar jemaah Ahmadiyah tidak menghelat pengajian. Sebab, menurut mereka, aktivitas Ahmadiyah bertentangan akidah Islam yang selama ini diyakini warga. Namun, permintaan tersebut direspons keras oleh pihak lain.

Berbagai aksi kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah bermunculan setelah Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah telah menyimpang dari akidah dan menimbulkan keresahan, perpecahan, serta berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara.

Menurut MUI, Ahmadiyah menganut paham bahwa Nabi Muhammad saw bukan nabi terakhir dan menganggap Ghulam Mirza Ahmad sebagai nabi. MUI mengeluarkan fatwa itu dalam Musyawarah Nasional II yang diselenggarakan pada 26 Mei–1 Juni 1980 di Jakarta.
Sudah jelas bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW adalah sesat, tidak sesuai dengan Al Quran. Dan hadisr Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu Pemerintah harus membubarkan Ahamdiyah, sebagaimana sesuai dengan keputusan MUI dan tuntutan masyarakat.

Kebebasan keyakinan dan kebebasan beragama yang dianut oleh Jamaah Islam Liberal (JIL) yang sering diplesetkan Jemaah Iblis Laknatullah seperti Ulil Anshar Abdalla, bukan untuk orang-orang yang “mengaku Islam” , padahal sesungguhnya bukan Islam. Tapi kebebasan untuk memeluk agama yang diakui Pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu dan Budha serta Kongfuchu.
Sebenarnya telah banyak kalangan berpendapat, untuk menemukan win-win solution maka labih baik Jemaah Ahmadiyah memisahkan diri dari Islam dan berdiri sebagai agama tersendiri. Namun kelihatannya, anggota Jemaat Ahmadiyah tidak mau bila Ahmadiyah dijadikan agama tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari 12 butir pernyataan yang dikeluarkan Ahmadiyah pada tanggal 14 Januari 2008.
Berikut ini adalah 12 butir pernyataan itu.[4]
1. Kami warga Jemaat Ahmadiyah sejak semula meyakini dan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah SAW, yaitu Asyhaduanlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasullulah, artinya: aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah.
2. Sejak semula kami warga jemaat Ahmadiyah meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah Khatamun Nabiyyin (nabi penutup).
3. Di antara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, pendiri dan pemimpin jemaat Ahmadiyah yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
4. Untuk memperjelas bahwa kata Rasulullah dalam 10 syarat bai’at yang harus dibaca oleh setiap calon anggota jemaat Ahmadiyah bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW, maka kami mencantumkan kata Muhammad di depan kata Rasulullah.
5. Kami warga Ahmadiyah meyakini bahwa
a. tidak ada wahyu syariat setelah Al-Quranul Karim yang diturunkan kepada nabi Muhammad.
b. Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad SAW adalah sumber ajaran Islam yang kami pedomani.
6. Buku Tadzkirah bukan lah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohami Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, yakni 27 tahun setelah beliau wafat (1908).
7. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata maupun perbuatan.
8. Kami warga jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan menyebut Masjid yang kami bangun dengan nama Masjid Ahmadiyah.
9. Kami menyatakan bahwa setiap masjid yang dibangun dan dikelola oleh jemaat Ahmadiyah selalu terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan manapun.
10. Kami warga jemaat Ahmadiyah sebagai muslim melakukan pencatatan perkimpoian di Kantor Urusan Agama dan mendaftarkan perkara perceraian dan perkara lainnya berkenaan dengan itu ke kantor Pengadilan Agama sesuai dengan perundang-undangan.
11. Kami warga jemaat Ahmadiyah akan terus meningkatkan silaturahim dan bekerja sama dengan seluruh kelompok/golongan umat Islam dan masyarakat dalam perkhidmatan sosial kemasyarakat untuk kemajuan Islam, bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
12. Dengan penjelasan ini, kami pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengharapkan agar warga Jemaat Ahmadiyah khususnya dan umat Islam umumnya serta masyarakat Indonesia dapat memahaminya dengan semangat ukhuwah Islamiyah, serta persatuan dan kesatuan bangsa.

Tinjauan Islam Tentang Toleransi Beragama
Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam semesta. Ajaran islam mengajarkan kebebasan beragama dan tidak adanya paksaan dalam memasuki agama. Hal ini pun tercantum di dalam Al-quran surah Al-Baqarah ayat 256, surah Al-Kahfi ayat 29, dan surah Al-kafirun yang berbunyi sebagai berikut :[5]
Al- Baqarah ayat 256, yang Artinya :“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah……
Al- Kahfi ayat 29,yang Artinya : “dan katakanlah : kebenaran itu datangnya dari tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir…….
Dan dalam surat Al-Kafirun dengan ayat terakhirnya, yang Artinya : “untukmulah agamamu, untukkulah agamaku
Dalam perkembangan islampun kebebasan beragama terlihat jelas dihargai. Kita dapat melihat pada piagam madinah yang merupakan peraturan yang dibuat oleh nabi Muhammad SAW  pada saat rasul menetap di Madinah setelah hijrah dan mendirikan sebuah Negara di Madinah. Dari pasal-pasal dalam piagam madinah tersebut telihat jelas adanya jaminan kebebasan menganut agama bagi setiap orang, melihat pada saat itu Madinah merupakan kota yang penduduknya sangat beragam dan plural.
Dalam perkembangan penyebaran islam selanjutnya pun kebebasan beragama dijunjung tinggi. Seperti dapat kita lihat pada masa khalifah Umar bin Khatab, pada waktu membebaskan Palestina, khalifah umar membuat perjanjian dengan utusan severinus, uskup Agung Baitul Mukadar, yang isinya antara lain : tetap mengizinkan para pemeluk agama Kristen melaksanakan ibadah mereka; tetap menggunakan gereja-gereja dan salib-salib mereka, dan hak-hak lainnya. mereka tidak boleh dipaksa dalam hal agama atau menggangu mereka.
Jadi dilihat dari sumber-sumber dalam Al-quran dan perkembangan islam sampai ke Deklarasi Kairo, terdapat kebebasan beragama yang sangat dihargai dalam islam. Bahkan dalam Al-quran yang merupakan sumber hukum tertinggi dalam islam. Islam melarang segala bentuk kekerasan dalam menjalankan ibadah. Islam merupakan agama yang rahmatan lil alamin, islam merupakan pembawa kedamaian didunia. Jadi umat muslim seharusnya menghargai kebebasan agama dan tidak melakukan kekerasan.

Tinjauan Hukum dan HAM
Kejadian yang menimpa Ahmadiyah merupakan kejadian yang kontroversial dan banyak kalangan yakin bahwa telah terjadi pelanggaran hukum yang berat dan bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Banyak diantara berbagai pihak terutama menyayangkan tragedi di cikeusik tersebut dapat terjadi dan seperti terdapat unsur pembiaran dari pemerintah dalam menangani permasalahan Ahmadiyah yang berlarut-larut tersebut, sehingga sampai terjadilah tragedi di Cikeusik tersebut.
Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan kesimpulan awal tentang kasus kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten. Terjadinya pelanggaran HAM, kesalahan intelijen polisi, dan adanya pengerahan massa yang terorganisir adalah hasil dari penyelidikan awal dari Komnas HAM.[6]
            Bagaimanapun secara normatif di Indonesia kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan dijamin oleh negara. Dan tercantum dalam berbagai konvesi dan peraturan diantaranya;
Didalam Deklarasi Kairo tentang HAM dalam islam yang diselenggarakan oleh Negara-negara islam,kebebasan beragama tercantum pada pasal 10-nya yang menyatakan :[7]
“Islam is the religion of unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of compulsion man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him to another religion or to atheism”
Yang maknanya yaitu dalam islam merupakan sebuah larangan untuk melakukan segala bentuk paksaan terhadap seseorang atau mendayagunakan kekurangannya untuk pindah agama.
Dalam pandangan hukum internasional, kebebasan beragama dapat kita lihat pada “United Declaration Of Human Rights (UDHR) pada pasal 18 yang menyatakan :[8]
“Everyone  has the right to freedom of thought, conscience and religion, this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or  private, to manifest his religion or belief  in teaching, practice, worship and observance”
Yang bermakna  bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk berfikir berdasarkan hati nuraninya dan untuk  memeluk agama, hak ini termasuk (mencakup) kebebasan mengubah agama/kepercayaannya.
UDHR merupakan standar international dalam hak asasi manusia yang harus melandasi setiap peraturan dalam setiap Negara. Seperti yang disebutkan dalam pembukaan UDHR :[9]
“…. Proclaims this universal declaration of Human Rights as common standart of achievement for all peoples and all nations….”
Dikarenakan UDHR dijadikan patokan dalam setiap Negara, maka UDHR ini sangat mempengaruhi hukum nasional kita terutama pada perkembangan konstitusi kita. Dalam awal perumusan undang-undang dasar perumusan mengenai Hak Asasi Manusia dalam UUD diperdebatkan karena ada pendapat berbeda antara Bung Karno dan Bung Hatta dan Yamin. Bung Karno memandang HAM merupakan cermin pandangan barat dengan paham individualism yang identik dengan kolonialisme dan imperialisme, jadi Bung Karno menyarankan HAM hanya dirumuskan dasar-dasarnya saja dalam UUD. Berbeda dengan Muhammad Hatta menyarankan agar masalah HAM dirumuskan dengan jelas dan banyak dalam UUD agar tidak terjadi penyelewengan terhadap HAM oleh pemimpin-pemimpin bangsa.
UUD 1945 pada awalnya hanya memuat tentang Hak Asasi Manusia sebagai dasar-dasarnya saja. Namun, pada tahun 1950 saat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusinya Undang-undang dasar sementara 1950 (UUDS 1950),dalam UUDS 1950 ini lebih banyak memuat tentang HAM karena adanya pengaruh dari UDHR pada tahun 1948. Setelah dekrit presiden pada tahun 1959 UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD 1945.
Seiring berjalan waktu hingga terjadi reformasi banyak desakan perubahan terhadap UUD 1945, hingga akhirnya terjadi amandemen sebanyak empat kali yang pada amademennya hal mengenai HAM ini begitu diperhatikan. Hingga sekarang hal mengenai HAM telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga telah resmi menjadi hak-hak konstitusional setiap orang atau constitusional rights. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen mengenai kebebasan beragama bertambah tidak hanya dalam pasal 29 saja, tetapi juga pada pasal 28E ayat (1) dan (2) pada bab Hak Asasi Manusia. Hal ini menyatakan bahwa kebebasan beragama itu merupakan suatu hal penting yang harus diperhatikan. Negara harus menjamin dan juga harus melindungi kebebasan beragama. Ditambah lagi dengan adanya Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalam pasal 22 menjelaskan;[10]
Ayat (1) :         Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut     agamanya dan kepercayaannya itu.
Ayat (2) :         Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
            Dalam ICCPR yang telah diratifikasi pemerintah, yaitu dalam UU No. 12 Tahun 2005 pun ditegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan itu harus dijamin oleh negara, yaitu pada pasal 18 ayat 1 dan 2;[11]

Pasal 18

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Dilihat dari beberapa sudut pandang baik Islam, Hukum Internasional maupun Hukum Nasional kebebasan beragama merupakan suatu hak asasi yang melekat pada setiap manusia yang harus dihargai. Peran setiap Negara ialah memberikan kebebasan beragama serta juga melindunginya. Di negara Indonesia berdasarkan UUD 1945-nya wajib melindungi dan memastikan rakyatnya bebas untuk beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Tak lupa juga pentingnya toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama sehingga terciptanya kerukunan antar umat beragama yang diharapkan.
Jika negara dalam hal melanggar prinsip-prinsip HAM maka negara dalam hal ini dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu unsur Ham yang harus dilindungi negara karena termasuk dalam non derogable rights;
non derogable rights ; Kovenan Hak SIPOL diantaranya memuat hak-hak seperti hak hidup, hak bebas dari perbudakan dan penghambaan, hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan atau penghukuman keji, hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia, hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum, hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang, hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut, hak diakui sebagai pribadi didepan hukum, kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama.
Dengan demikian, tidak dibernarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Kalau toh pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat komulatif yang dimaksud adalah
pertama: sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara,
kedua: penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
dan ketiga pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).

PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
            Berdasarkan segala paparan secara ideologis dan normatif di atas tentu kita dapat melihat bahwa tragedi di Cikeusik yang berkaitan dengan Ahmadiyah dapat dikatakan terjadi suatu pelanggaran HAM, karena negara melanggar prinsip-prinsip HAM. Negara sebagai subjek hukum HAM pada dasarnya sebagai entitas utama yang bertanggung jawab melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM, dan dalam konteks ini negara didakwa telah melakukan pelanggaran HAM berat, karena tidak berupaya melindugi atau meniadakan hak-hak warga negaranya yang termasuk non-derogable rights, yang diantaranya adalah hak untuk berkeyakinan agama.
            Dari sisi empiris terlihat bahwa negara terlihat melakukan pembiaran terhadap penyerangan Jemaah Ahmadiyah yang terjadi di Cikeusik. Negara dengan segala aparaturnya seharusnya telah bisa memprediksi kemungkinan-kemungkinan terjadinya gesekan di Cikeusik, karena di berbagai daerah lainnya telah banyak terjadi konflik serupa antara Jamaah Ahmadiyah dengan warga masyarakat lainnya. Negara dianggap lalai dalam pencegahan dan penanggulangan konflik Cikeusik, seharusnya negara melalui Badan Intelijen Negara telah bisa memprediksi aksi masa yang akan terjadi kala itu dan melakukan antisipasi dengan mengerahkan aparat kepolisian untuk meredam aksi masa tersebut.
            Aksi masa yang terlihat rapi dan terkoordinir serta berjumlah lebih dari 1000 orang tersebut merupakan tanda bahwa aksi penyerangan tersebut sebenarnya telah  direncanakan secara matang, dan negara seharusnya sudah dapat mendeteksi dan melakukan langkah guna menjamin kebebasan untuk berkeyakinan dan bahkan untuk mempertahankan kehidupan dari warga Ahmadiyah, terlepas kita melihat daripada aspek substansi ajaran Ahmadiyah. Negara pada dasarnya dapat melakukan suatu perundingan diantara pihak-pihak yang terkait agar setiap masalah dapat diseleaikan secara damai dan kekeluargaan, seperti dalam prinsip Pancasila, tanpa perlu terjadi pertumpahan darah di masyarakat.
Diluar aspek Cikeusik pun sudah vokal terdengar peristiwa-peristiwa kekerasan berpatokan agama dan keyakinan, namun negara seakan menutup mata akan segala kejadian tersebut, sebut saja peristiwa Temanggung, lalu peristiwa Ciketing. Semua itu merupakan potret-potret bahwa negara seolah meng-amini segala kekerasan yang berlatar belakang agama, dan akhirnya rakyat yang merasa benar dengan “datang” menegakkan ham dengan cara main hakim sendiri.
Kekerasan yang dilakukan rakyat pada hakikatnya merupakan akibat dari respon negara yang terlambat bahkan nihil, dalam mendengar aspirasi masyarakat akan permasalahan keagamaan yang notabenenya sangat sensitif. Negara tidak menjadi suatu pemandu dan tidak menjadi suatu pawang dalam menjaga koridor-koridor kebebasan dan kepatutan dalam menjalankan keyakinan dan ritual keagamaan dari masyarakat. Sosok negara seakan “hilang” dalam setiap tragedi yang berkenaan dengan masalah keagamaan.
Negara sudah tidak dapat tawar-menawar lagi dalam menegakkan HAM dalam kehidupan berkeyakinan di masyarakat. Segala landasan baik ideologis dan normatif mengaruskan negara wajib menegakkan Hak Asasi Manusia bagi rakyatnya, hal itu wajar, karena negara memiliki sega instrumen kekuasaan untuk menjaga HAM, dan sejalan dengan teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh Thomas Hobes.
Tragedi di Cikeusik, Propinsi Banten tersebut mau tak mau harus segera di usut, jangan ada kesan seolah negara melegitimasi penyerangan Jamaah Ahmadiyah tersebut dengan membiarkan pelaku kekerasan beredar bebas di masyarakat, dengan begitu maka rekyat akan bercermin bahwa bila melakukan kekerasan atas nama agama adalah hal yang dibenarkan negara, jangan sampai hal itu terjadi. Jadikan kasus Cikeusik ini kasus yang terakhir dalam permasalahan kebebasan berkeyakinan. Kelak bila ada masalah, negara harus menyediakan forum untuk berdialog dengan jalan kekeluargaan, bukan membiarkan kekerasan yang menunjukan siapa yang benar.


[1] http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=17567; diakses 2 Maret 2011
[2] ibid
[3] ibid
[4] http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=17508; diakses 3 Maret 2011
[5] http://regafelix.wordpress.com/2010/10/08/islam-hukum-internasional-dan-hukum-nasional-dalam-aspek-kebebasan-beragama-sebagai-hak-asasi-manusia/; diakses 3 Maret 2011
[6] http://www.detiknews.com/read/2011/02/23/131149/1577104/10/komnas-ham-temukan-pelanggaran-pada-kasus-cikeusik ; diakses 3 Maret 2011
[7] The Cairo Declaration on Human Rights in Islam
[8] Universal Declaration of Human Rights
[9] ibid
[10] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[11] UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005  TENT ANG  PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK).
5 Alexander Rizki's Blog: Analisis Tragedi Cikeusik, Ahmadiyah Dalam sudut pandang Hukum dan HAM Latar Belakang                 Tragedi yang terjadi di Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten merupakan tragedi yang terjadi berkaitan ...

1 comment:

< >