Monday, March 21, 2011

Fenemena Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia yang Berujung Pada Tindak Terorisme


Bab I (Pendahuluan)
 1.1 Latar Belakang Masalah
Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi  agama juga bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan di muka bumi ini. Dalam editorial bukunya, “Violence and the Sacred in the Modern World”, Marl Juergensmeyer menyatakan: Violence has always been endemic to religion. Images of destruction and death are envoked by some of religion’s most popular symbols, and religious wars have left through history a trail of blood. The savage martyrdom of Hussain in Shiite Islam, the crucifixion of Jesus in Christianity, the sacrifice of Guru Tegh Bahadur in Sikhism, the bloody conquest in the Hebrew Bible, the terrible battles in the Hindu epics, and the religious wars attested to in Sinhalese Buddhist chronicles indicate that in virtually every tradition images of violence occupy as central a place as portrayals of non-violence.[1]
Melalui pernyataannya Juergensmeyer seakan-akan percaya atau mengajak pembacanya untuk percaya bahwa sumber utama konflik dan kekerasan dunia adalah agama, sekalipun dia sendiri tidak menyatakan dengan jelas pandangannya tentang hal itu.
Di Indonesia sendiri, kekerasan yang terjadi atas nama agama sangat kita rasakan. Wahid Institue melaporkan adanya peningkatan kekerasan agama di Indonesia. Tercatat ada 232 kasus berkenanan dengan kekerasan agama di 2009, sedangkan di 2008 dilaporkan ada 197 kasus.[2]
Bertitik tolak dari argumen dan asumsi bahwa terorisme dapat dilakukan oleh negara atau sekelompok masyarakat, maka kini kita akan mencoba mendiskusikan lebih jauh faktor agama dalam hal ini Islam khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam dan Islam sendiri sering muncul dalam perkembangan isu-isu terorisme belakangan ini, terutama aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sering dilakukan dengan dan atas nama agama Islam dan juga karena kekerasan atas nama agama menimbulkan pandangan sempit bagi orang-orang terhadap agama yang dijadikan tameng dalam aksi kekerasan atau terorisme itu. Kemudian secara umum, terutama dari sudut pandang fenomenologi agama, yang perlu kita telaah di sini ialah apakah aksi terorisme diterima sebagai doktrin agama atau merupakan alat dari orang yang beragama. Faktor agama tersebut akan didskusikan di dalam makalah ini yaitu apakah benar bahwa aksi terorisme itu harus selalu dikaitkan atas nama agama? Mengapa banyak orang yang selalu melakukan aksi kekerasan atau terorisme atas nama agama? Padahal jika dilihat dari sudut pandang logika terutama fenomenologi agama, semua agama tentu tidak ada yang pernah untuk mengajarkan aksi kekerasan demikian atau dengan kata lain terorisme dan setiap agama pasti mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Untuk itu dalam pembahasan di dalam makalah ini, kita akan coba melihat seluk-beluk serta menganalisis terorisme atas nama agama serta keterkaitan antara aksi terorisme tersebut di Indonesia dengan faktor agama yang selalu dijadikan tameng oleh para pelaku teror dalam menjalankan aksinya serta kita juga akan mencoba untuk mencari penyelesaian yang terbaik untuk mengubah pola pikir orang agar tidak lagi melakukan aksi teror hanya karena atas nama agama sekaligus mencari upaya pencegahan tindak terorisme di Indonesia untuk tahun-tahun ke depannya.  

1.2 Landasan Teoritis
            Secara teoritis, Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang ditunjukan kepada orang lain dengan maksud melukai, menyakiti dan membuat menderita baik secara fisik, maupun psikis. Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.[3] Oleh karena tidak mudahnya untuk membuat suatu pengertian tentang terorisme yang dapat diterima secara umum oleh semua pihak, maka pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut. Berikut akan dijabarkan beberapa definisi terorisme dari beberapa tokoh :
1)      Menurut Muhammad Mustofa,  Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal.[4]
2)      Menurut James M. Poland, Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience.[5]
3)      Menurut FBI, Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik .[6]
4)      Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi.[7]
5)      Menurut Laquer (1999), setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme, menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.[8]
6)      Menurut A.C. Manulang, Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.[9]
7)      Menurut Terrorism Act 2000, UK. , Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.      aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.
b.      penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik.
c.       penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi.
d.      penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak. [10]
Secara umum sesuai definisi terorisme yang dikemukakan para tokoh dan lembaga di atas, maka terlihat bahwa pengertiannya diserahkan pada pendapat masing pihak. Namun pendapat para tokoh dan lembaga mengenai definisi terorisme di atas kurang lebih sudah mencakup keseluruhan aspek maksud dan inti yang sama. Oleh karena itu penggunaan definisi istilah terorisme juga diserahkan kepada masing-masing pihak atau individu.



Bab II (Pembahasan)
2.1 Penyebab Kekerasan Atas Nama Agama
Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial.  Faktor internal juga dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak kekerasan.
Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan oleh gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci. Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah tanpa melakukan penggalian apapun.
Hal itu pun sama terjadi terhadap agama Islam, khususnya di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan, perilaku kekerasan agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual. Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur’an, seperti kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35), maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.[11]
Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak gereja yang tidak memiliki izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam orang berzina 23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%, menyerang atau merusak tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam orang yang dianggap menghina Islam 40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak 23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara untuk bentuk tindakan kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut: mencubit anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.[12]
Berdasarkan hal di atas agama terkesan merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab Suci agama lah yang bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat dalam diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat mudah terjadi apabila salah satu kelompok merasa identitasnya terancam. Misalkan bisa kita lihat pada konflik Ambon dan Poso jika dalam konteks dalam negeri.
Potensi ini menjadi semakin besar ketika para pemimpin politik berusaha mengkonstruksi identitas negara berdasarkan agama tertentu yang mayoritas. Di satu sisi itu bisa menimbulkan arogansi dari kelompok pemeluk agama yang mayoritas dan perasaan terancam dan terintimidasi yang dirasakan oleh kelompok minoritas.
Namun demikian, sejarah kekristenan telah membuktikan bahwa semakin dekat gereja secara institusi dengan politik pemerintahan semakin bobrok kondisi keagamaannya. Usaha-usaha untuk mebentuk negara Kristen telah dilakukan dan terbukti gagal. Calvin mencoba menciptakan sebuah kota yang ilahi di Geneva dan tidak berhasil. Demikian juga pada abad ke-4 ketika Konstantinus bertobat dan menyatukan gereja dengan negara, pada akhirnya itu pun mengalami kegagalan baik di dalam sisi pemerintah maupun gereja itu sendiri. Gereja pada akhirnya terlibat secara aktif dalam tindak kekerasan yang imoral dan melawan ajaran dari agamanya sendiri.[13]
Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu terbentuknya semangat separatis. 
Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut. Inilah analogi gambaran situasi tragis kehidupan dalam pandangan John D Caputo.[14]

2.2 Penyebab Tindakan Terorisme Atas Nama Agama
Dilihat dari perkembangan aksi terorisme di Indonesia saat ini, memang hampir setiap aksi terorisme yang dilakukan pasti selalu dikaitkan atas nama agama. Kita sebagai masyarakat yang hidup di Indonesia tentu bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Apa alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan mereka selalu menggunakkan nama agama dalam melakukan setiap aksi teror mereka? Apa yang telah diajarkan oleh agama tersebut sehingga para pengikutnya melakukan aksi terorisme? Padahal setiap agama mengajarkan kita untuk mengadakan pedamaian di dunia. Dari sini dapat diketahui bahwa ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang sudah menganggap agama sebagai sebuah lembaga/badan bahkan sebuah atribut saja dan lupa akan substansi dari agama tersebut. Orang-orang tersebut sangat meyakini bahwa agama mereka yang paling benar dan menganggap bahwa agama yang lain itu salah dan sesat sehingga mereka memberantas siapapun yang beragama lain tanpa menyadari bahwa mereka telah mencemari substansi dari agamanya sendiri. Untuk mengetahui pembahasan masalah ini secara lebih jelas, maka pertama-tama kita perlu mengetahui faktor penyebab aksi kekerasan atau terorisme atas nama agama ini. Secara singkat dan khusus, ada beberapa faktor yang menyebabkan para pelaku teror melakukan kekerasan (terorisme) atas nama agama, yaitu :
1)      Kurangnya pendidikan agama yang dia peroleh atau dengan kata lain dia tidak menghayati atau memahami keseluruhan esensi dari agama yang dia anut.
2)      Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia mudah dihasut.
3)      Lingkungan pergaulan, di manapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orang-orang Indonesia yang pergi ke Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana ialah untuk studi namun kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada di sana dari orang-orang berpola pikir sempit serta radikal. Contoh lainnya ialah di mana tersangka teroris seperti Imam Samudera dan Amrozi yang memang sejak muda sudah dilatih dan tinggal di lingkungan militan teroris di Afganistan sehingga wajar jika begitu pulang ke Indonesia mereka sudah jadi teroris.
4)      Ketidakpuasan ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia peroleh dalam hidup, sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya dia melakukan aksi teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal itu justru akan mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut.
5)      Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan.
6)      Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan terbuka lebar.
7)      Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya.
Itulah gambaran beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan tindakan aksi  kekerasan atas nama agama di Indonesia ini. Sebagai manusia yang beragama dan beriman, tentu saja kita tidak menginginkan ketujuh hal tersebut terjadi pada kita maupun pada anak, keluarga, dan kerabat baik kita semua.

2.3 Pola-Pola Tindakan Teroris di Indonesia
Secara umum pola tindakan teroris di Indonesia dilakukan dengan suatu gerakan yang cepat, teratur, sistematis, terencana, dan luas. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa para teroris yang saat ini masih berkeliaran di Indonesia mempunyai hubungan jaringan ke luar negeri. Apalagi sewaktu Nurdin M Top masih hidup yang di mana selaku pemimpin Al-Qaeda di Indonesia, dia memiliki jaringan yang sangat luas dan besar ke luar negeri melebihi teman-teman rekrutannya di Indonesia sehingga berpotensi membentuk suatu organisasi teroris Internasional.
Sekarang ini para teroris yang masih ada di Indonesia lebih banyak bergerak dalam organisasi tanpa bentuk dengan merekrut orang-orang desa yang gampang dipengaruhi dengan materi dakwah keislaman yang fanatik mendogmakan jihad sebagai “mati syahid”, bila terbunuh atau membunuh “orang kafir” yang selalu diidentikkan dengan Amerika Serikat atau sekutunya. Mereka juga biasanya tinggal di tempat-tempat terpencil dan tersembunyi seperti di desa-desa dalam membangun organisasinya skaligus menyusun rencana terornya.
Para teroris di Indonesia dalam menjalankan setiap aksinya sering beranggapan bahwa  korban sebenarnya bukanlah tujuan utama, tetapi yang terpenting adalah dapat dijadikan perang urat syaraf yang dapat menggugah rasa takut jutaan manusia. Oleh karena itu target sasaran selalu tempat-tempat yang mencolok bisa langsung menggemparkan dunia internasional dan dilakukan secara sistematis. Ini semua dapat dilakukan oleh kelompok teroris tersebut, karena termotivasi idealisme sempit atau karena kebencian yang sudah merasuk ke tulang sumsum.
Pertanyaan lain yang berkaitan dengan pola tindakan teroris; mengapa selalu harus dilakukan sambil membunuh diri? Dari hasil analisis dan modernisasi alat deteksi, akan mudah diketahui jika membawa bom dengan mobil atau bahkan pada tubuh se-seorang, sehingga kaum teroris kemudian memformulasikannya sedemikian rupa, seperti yang terjadi di Marriott dan Ritz atau negara lain seperti di Irak, Pakistan, India dan lain-lain. Apalagi bagi teroris bom bunuh diri, sama nilainya sebagai perbuatan jihad atau kepahlawanan, meskipun bagi setiap negara, apalagi orang-orang yang menjadi korban perbuatan teror disamakan dengan perilaku biadab, yang sama sekali meniadakan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga sangat menakutkan.
Jangan lupa pengertian teror sebenarnya sangat relatif, karena tindakan teror dianggap paling efektif mencapai tujuan komunitas yang lemah melawan kelompok yang kuat. Pengamat intelijen Dr. A.C. Manulang, mantan salah direktur BAKIN (sekarang BIN), menyatakan dugaan dan sinyalemen keterkaitan antara jaringan sel terorisme di Indonesia dengan JI dan Al-Qaeda sudah dintrodusir beberapa saat sebelum meledaknya bom Bali I.  Oleh karena itu ancaman teroris internasional, meskipun dengan tubuh Indonesia, masih akan terus mengancam di Bumi Ibu Pertiwi ini, sehingga semua lapisan masyarakat memerlukan kewaspadaan yang luar biasa.

2.4 Bentuk-Bentuk Terorisme
            Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia, khususnya di Indonesia ini sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka. Secara singkat, bentuk-bentuk aksi terorisme dapat dibagi ke dalam 3 macam golongan : [15]
1)      Terorisme Fisik. Yaitu peristiwa-peristiwa atau bentuk terorisme yang sekarang menjadi puncak sorotan manusia seperti pelededakan, bom bunuh diri, pembajakan, dan seterusnya. Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah telah tercatat dalam sejarah. Seperti di Indonesia seperti Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom Kedutaan Australia di Jakarta, Bom Marriot 1, Bom Marriot 2 dll.
2)      Terorisme Psikologis (Kejiwaan). Yaitu suatu bentuk-bentuk terorisme yang berupa suatu ancaman psikologis terhadap suatu subjek atau objek tertentu, seperti misalkan berupa teror ancaman bom melalui media tertentu seperti telepon, pesan singkat, surat, email, artikel blog, website dll, yang bertujuan untuk menimbulkan kepanikan. Seperti yang terjadi pada teror gereja pada malam natal, teror gedung kedutaan AS dll.
3)      Terorisme Ideologi (pemikiran/pemahaman). Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik dan psikologi. Sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang tidak beragama yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari kalangan kaum  beragama yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan ajaran mereka, khususnya dalam hal ini kaum muslimin yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Bentuk-bentuk terorisme ini pada dasarnya sangat saling berkaitan, dimana apabila seseorang atau suatu komunitas bahkan masyarakat telah terjangkiti suatu paham yang salah atau yang berupa terorisme ideologi maka dia akan condong untuk segera melakukan tindakan terorisme fisik maupun psikologi, yang berupa bom bunuh diri, pembajakan, teror dll, yang merupakan manifestasi dari terorisme ideologi.
Seperti yang telah di sampaikan sebelumnya bahwa terorisme ideologi adalah macam terorisme yang paling berbahaya, karena terorisme ideologi adalah bentuk yang utama yang merupakan sumber daripada terorisme lainnya yang menjangkiti bahkan hingga suatu komunitas dan masyarakat, tidak hanya satu individu perorangan saja, dan contohnya adalah apa yang kita lihat pada komunitas beberapa organisasi islam seperti Al Qaeda dan Jamaah Islamiah, yang juga akan siap menyebarkan ideologi radikal mereka.

2.5 Upaya Pencegahan Tindakan Kekerasan atas Nama Agama
            Ada banyak hal dan upaya yang bisa dilakukan demi mencegah terjadinya tindakan kekerasan atas nama agama. Bahkan beberapa orang tokoh kenamaan masyarakat dan nasional telah berulang kali menyatakan pendapatnya dalam rangka mencegah terorisme, salah satunya ialah pendapat yang mengatakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku teror harus dilakukan dengan tegas, adil, dan bijaksana. Penegakan hukum ini harus dilakukan terus menerus baik secara terbuka dan tertutup (intelijen) baik untuk pencegahan maupun penindakan. Dengan terjadinya peledakan bom di Hotel Marriot dan Ritz-Carlton timbul kesan bahwa upaya pencegahan kurang berhasil dibandingkan dengan upaya penindakan yang sudah berhasil menangkap lebih dari tiga ratus teroris. Dalam penindakan aksi terorisme, tujuan penghukuman bukanlah untuk balas dendam, tetapi untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan menimbulkan efek pencegahan (deterrence effect) bagi orang lain. Pembinaan pelaku teror dan keluarganya atau kelompoknya juga perlu dilakukan dengan komprehensif untuk menyadarkan pelaku. Keterlibatan para ahli, organisasi keagamaan, atau tokoh agama kiranya tetap diperlukan. Adakalanya penyidik atau penuntut umum perlu menguasai dengan baik organisasi teroris dan ideologi yang melatarbelakanginya.
Kemudian juga menurut Brigjen. Pol. Drs. Halba Rubis Nugroho.MM, dalam rangka mencegah terorisme, maka oleh karena itu, aparat keamanan selalu siap siaga mengantisipasi aksi balasan yang dilakukan oleh kelompok Nurdin. Selanjutnya, pada tahun-tahun ke depannya, berbagai upaya akan terus dilakukan termasuk upaya memutus jaringan teroris yang melibatkan dan bersentuhan dengan lembaga pendidikan keagamaan/pesantren. Untuk menghindarkan kesalah pahaman umat Islam, maka upaya pendekatan Kepada tokoh-tokoh keagamaan/pesantren dilaksanakan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kesan memojokkan agama Islam dan penganutnya. Sementara itu kerjasama penanggulangan dan pencegahan teroris secara lintas negara dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan infrastruktur aturan hukum. [16]
            Pada tahun 2005, Indonesia telah meresmikan kerjasama bilateral di bidang terrorism diantaranya dengan Polandia telah menandatangani Kerjasama dalam Penanggulangan Kejahatan Transnasional dan Jenis Kejahatan Lain, dan dengan Vietnam telah menandatangani MoU dalam Pencegahan dan Penangggulangan Kejahatan.  Secara multilateral, Indonesia terlibat dalam ASEAN – Mendeklarasi Gabungan Republik Korea dalam Kerjasama Penanggulangan Teroris Internasional, ASEAN – Mendeklarasi Gabungan dalam Kerjasama untuk Penanggulangan Teroris Internasional, dan ASEAN – Mendeklarasi Gabungan New Zealand dalam Kerjasama untuk Penanggulangan Teroris Internasional. Sementara itu dalam hal peningkatan infrastruktur aturan hukum, pemerintah sedang dalam tahap akhir proses ratifikasi dua konvensi internasional yaitu Konvensi Internasional untuk Pelarangan Keuangan pada Teroris (1999) dan Konvensi Internasional untuk Pelarangan Pemboman pada Teroris (1997). Aksi terorisme dalam jangka pendek seringkali berdampak cukup signifikan terhadap upaya-upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif di dalam negeri. [17]
            Selain itu hal yang paling penting adalah sikap kita untuk belajar pada pengalaman dan berkehendak untuk lebih terbuka dan kritis dengan situasi yang dihadapi.
Upaya membangun hubungan yang berpijak pada prinsip persamaan, keterbukaan, dan saling menghargai adalah wujud mutlak yang harus dilakukan untuk membenahi jalinan kusut hubungan sosial kemasyarakatan kita selama ini. Bila tidak, maka niscaya akan sulit membangun sebuah sistem sosial yang adil, terbuka dan saling menghargai.
            Mengapa penting sikap saling terbuka itu ditanamkan di antara kita. Sikap terbuka berarti sikap untuk mau menerima orang lain, menerima berbeda pandangan dengan orang lain, menerima berbeda pendapat dengan lain. Selain itu, juga ada inisiatif atau kehendak untuk mengafirmasi kelompok yang berbeda dari kita. Terbuka bukan berarti hanya sikap mau menerima, tapi juga sikap dalam bentuk kehendak untuk mengafirmasi orang lain.
            Arti terbuka juga sikap melebur atau menggabungkan pribadi atas pribadi lain yang berbeda dengan kita. Artinya hubungan yang dibangun di atas prinsip keterbukaan berarti antara satu dengan lain pihak sudah tidak ada lagi jarak, antara dia dan kita. Melainkan hubungan itu merupakan hubungan dalam kedekatan kami. Pihak satu menjadi bagian dari pihak lain yang berbeda. Identitasnya melebur menjadi satu.
Arti sikap terbuka, juga bukan berarti identitas masing-masing individu hilang. Ia tetap pada masing-masing identitasnya. Gagasan peleburan bukan berarti meniadakan identitas pada masing-masing kelompok, tapi lebih pada upaya menemukan kemungkinan titik-titik temu di antara keduanya. Artinya masing-masing tetap pada identitasnya.
Gagasan inilah yang mendesak untuk dikembangkan dalam rangka membangun hubungan keberagamaan di masyarakat, baik di kalangan internal maupun di kalangan eksternal. Demikian, tidak akan terjadi peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan agama.
Kendati demikian, gagasan ini bukan sebuah praktik yang mudah dilakukan di lapangan.  
            Betapapun ini merupakan sebuah gagasan ideal yang harus muncul dari individu-individu yang berkesadaran. Akan sulit mengharapkan individu semua yang ada di dunia ini memiliki kesadaran sama dalam menciptakan hubungan di masyarakat. Karena sulit itulah maka diperlukan sebuah otoritas yang dapat mendesakan kehendaknya kepada seluruh individu di masyarakat. Otoritas itu harus mampu bersifat netral, dan harus merupakan representasi dari semua golongan dan kelompok. Agar dapat mencegah terjadinya dominasi golongan dalam praktiknya.
Otoritas ini paling representatif mengambil bentuknya pada institusi negara. Negara dalam hal ini harus bertindak sebagai mediator atau eksekutor terhadap tegaknya sikap terbuka di antara masyarakat. Dan Negara harus mampu menindak siapapun individu yang tidak mau mewujudkan sikap terbuka itu. Negara sebagai kekuatan hukum berhak mendesakan kepentingan bersama kepada individu yang enggan untuk bertindak.
Negara dalam hal ini harus mampu mendesakan gagasan terbuka kepada kelompok-kelompok yang anarkis. Dan harus mampu menindak kelompok-kelompok FPI dan HTI yang telah berlaku anarkis. [18]
Kemudian para pemimpin agama harus ambil bagian dalam mencegah kekerasan atas nama agama yang sering terjadi di negeri ini dengan cara memberikan pembinaan dan pemahaman yang utuh dan menyeluruh mengenai substansi ajaran agamanya masing-masing yang memang mengajarkan kebaikan kepada umat. Kekerasan agama yang terjadi selama ini dilakukan oleh pihak-pihak yang begitu bersemangat dalam praktik ritual hidup keagamaan tetapi pengamalannya masih kurang, bahkan salah dalam menafsirkan agamanya.
            Menurut Khamami Zada ada dua alasan mengapa suatu perdamaian bisa terwujud dalam masyarakat. Pertama, karena adanya elemen masyarakat yang masih memegang teguh ide dan spirit perdamaian untuk kemudian mengkampanyekannya dan, kedua karena adanya prakarsa dari para actor konflik untuk melakukan rekonsiliasi. Maka dengan begitu generasi bangsa dituntut untuk selalu bergerak dalam menanggapi persoalan-persoalan yang melanda bangsa ini, generasi bangsa harus melawan dan mencegah bentuk intimidasi, diskriminasi, intoleransi, sampai dengan kriminalisasi yang mengatasnamakan Agama, budaya dan menjaga kepercayaan terhadap bangsa sendiri.  Sementara Negara bertanggung jawab untuk memfasilitasi jalannya hukum yang betul-betul adil bagi yang tertindas hak-haknya, ajaran Islam sendiri menegaskan bahwa pemerintah dengan segala kebijakannya mesti diarahkan dan bertujuan bagi terciptanya kemaslahatan. [19]



Bab III (Penutup)
3.1 Kesimpulan dan Saran
            Segala bentuk kekerasan atas nama agama merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima oleh pihak manapun. Karena jika kita melihat pada bentuk dan substansi agama, maka tidak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan manusia untuk berbuat anarki dan kekerasan terhadap manusia lainnya. Terlebih-lebih jika perbuatan kekerasan tersebut dilakukan atas nama suatu agama tertentu. Justru sebaliknya, semua agama di dunia ini mengajarkan kasih sayang, toleransi, cinta damai, saling mengasihi antar sesama manusia lainnya. Sehingga secara otomatis segala bentuk tindakan kekerasan dilarang oleh semua agama.
            Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga menyebabkan orang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama ialah karena orang tersebut memiliki pandangan yang sangat sempit mengenai agama tersebut atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu sebatas bentuknya saja tanpa memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan yang dia lakukan dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut pandangannya.
Semua komponen masyarakat baik keluarga, tokoh masyarakat, pemuka agama dan pemerintah Indonesia perlu saling bekerja sama dan berkoordinasi secara baik, teratur, dan sistematis dalam pemberantasan segala bentuk kekerasan yang terjadi yang dalam hal ini dilakukan atas nama agama pada khususnya. Upaya-upaya pencegahan yang telah diutarakan di atas, akan benar-benar terlaksana dengan baik dan benar jika pemerintah dan seluruh komponen masyarakat mau bekerja sama dan saling menaruh kepercayaan yang baik dan tinggi.
            Hidup di kehidupan yang plural, bukan berarti kita bebas untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, tetapi seharusnya kita lebih banyak menumbuhkan semangat toleransi antar umat beragama. Dengan semakin banyaknya aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia ini, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus mampu memahami dan mempelajari bentuk dan substansi agama secara lebih mendalam dan benar agar kita semua mampu menggunakkan akal, jiwa, hati, nalar, dan rasio kita dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama tersebut dengan benar dalam kehidupan nyata dan bukannya melakukan tindakan kekerasan yang dilandaskan agama tersebut.


[1] Juergensmeyer 1992:1
[2] Adianto P. Simamora, Cases of religious violence up: Report, dalam The Jakarta Post, Edisi: 21 Agustus 2009
[3] Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001), hal. 35.
[4] Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 30.
[5] http://www.terrorism.com/modules.php.
[6] Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., hal. 172.
[7] Ibid.
[8] Muhammad Mustofa, Op. cit., hal 33.
[9] A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, Januari 2001) hal. 151.
[10] Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Lemdiklat POLRI Sekolah Lanjutan Perwira, hal. 5.
[11] Jajang Jahroni, Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam: Islamlib.com, 07 Agustus 2008.
[12] Ibid.
[13] Dwi Maria Handayani, Kekristenan dan Kekerasan Agama, www.leimena.org/0101_artikel2.html
[14] Damianus J Hali, Bahan Kuliah Fenomenologi Agama, Unpar, 2007, hal 15
[15] http://artikel.jw.lt/jihad/bentuk.terorisme
[16] http://www.hupelita.com/baca.php?id=50754
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] http://paradigma.webs.com/apps/blog/entries/show/325658-pertahankan-nkri-
5 Alexander Rizki's Blog: Fenemena Kekerasan Atas Nama Agama di Indonesia yang Berujung Pada Tindak Terorisme Bab I (Pendahuluan)   1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi pera...

2 comments:

  1. Hallo Alex....Salam kena...Saya Thomas Gustafian Edi dari Sukabumi Jawa Barat...

    Saya sangat setuju dengan ulasan dalam makalah yang telah anda buat...Saya minta persetujuan anda untuk menjadikan makalah yang anda buat ini untuk menjadi salah satu referensi dalam paparan saya nanti pada Konferensi Organisasi Duta Perdamaian kebebasan beragama di Jakarta..Jika anda berkenan berkomunikasi untuk diskusi dan bekerjasama dapat hubungi Hp. saya 0812 717 8488...tks..yaaa...Salam hangat buat keluarga anda...

    ReplyDelete
  2. Halo, saya izin share artikel ini untuk bahan kuliah saya. Terima kasih

    Hairun Nisa

    ReplyDelete

< >